Bahasan kali ini disarikan dari bahasan Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i
karya Syaikh Muhammad Az-Zuhaily pada bahasan iktikaf. Aturan-aturan berikut
yang dipakai madzhab Syafii saat iktikaf. Moga bisa membantu dalam memahami
iktikaf saat masa pandemi yang mengharuskan kita di rumah saja.
Pengertian iktikaf
Iktikaf secara etimologi berarti menetapi, tidak meninggalkan. Menurut Imam
Syafii, menetapnya seseorang pada sesuatu disebut dengan iktikaf, terserah ada
yang menetap pada kebaikan atau kemaksiatan. Hal ini sebagaimana disebutkan
dalam ayat,
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ
لَهَا عَاكِفُونَ
“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” (QS.
Al-Anbiya’: 52)
Tentang iktikaf (menetap) dalam kebaikan disebutkan dalam ayat,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam
masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Iktikaf secara istilah syari (terminologi) adalah menetap di dalam masjid,
dilakukan oleh orang tertentu, dengan niat yang khusus. Istilah iktikaf di
sini hanyalah iktikaf dalam kebaikan saja.
Rukun dan syarat iktikaf
Pertama: Orang yang beriktikaf haruslah memenuhi tiga syarat yaitu
Islam, berakal, dan bersih dari hadats besar (yaitu junub, haidh, dan nifas).
Yang masih sah iktikafnya: (1) anak kecil yang sudah tamyiz, (2) wanita yang
sudah bersuami dengan syarat telah diizinkan suaminya. Jika wanita ini iktikaf
tanpa izin suami, berarti ia dianggap menyelisihi, iktikafnya tetap sah, namun
melakukan keharaman.
Kedua: Masjid
Iktikaf hanyalah sah jika dilakukan di masjid, baik untuk laki-laki maupun
perempuan. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily menyatakan, “Iktikaf di musala
rumah wanita atau di musala laki-laki. Tempat semacam ini masih bisa diubah
dan orang junub masih boleh berdiam di dalamnya. Para wanita di masa dulu
selalu melakukan iktikaf di masjid. Karena memang iktikaf itu hanyalah di
masjid. Hal ini sebagaimana firman Allah,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam
masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).” (Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:228)
Berdasarkan ittiba’ dan ijmak, masjid adalah syarat dilakukannya iktikaf.
Iktikaf ini bisa dilakukan di setiap masjid. Masjid jamik yang didirikan
shalat Jumat di dalamnya lebih utama dan afdal karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan iktikaf di masjid jamik. Alasan afdal lainnya,
jumlah jamaah di masjid biasa lebih banyak. Memilih masjid jamik juga akan
lepas dari perselisihan pendapat, karena ada yang berpendapat bahwa iktikaf di
masjid jamik itu jadi syarat wajib. Kalau yang dipilih adalah masjid jamik,
tentu tidak perlu keluar untuk shalat Jumat ke masjid lainnya.
Ketiga: Berniat
Hukumnya adalah wajib mengawali iktikaf dengan niat, yakni berniat menetap di
masjid selama waktu tertentu untuk ibadah.
Keempat: Menetap di masjid
Orang yang beriktikaf haruslah menetap di masjid selama waktu tertentu yang
disebut diam secara urf (menurut kebiasaan). Para ulama Syafiiyah katakan
sekadar lamanya thumakninah ketika rukuk dan semacamnya. Kalau hanya lewat
dari satu pintu menuju pintu lainnya tidaklah disebut iktikaf. Diamnya di
masjid tidaklah harus satu malam penuh. Akan tetapi, disunnahkan iktikaf
dilakukan sehari.
Waktu iktikaf
Iktikaf boleh dilakukan pada waktu malam atau siang, juga termasuk pada waktu
terlarang untuk shalat, boleh juga iktikaf dilakukan saat hari raya Idulfitri
dan Iduladha, serta hari-hari tasyrik.
Syarat iktikaf adalah berdiam di masjid, boleh dalam waktu lama, bisa pula
dalam waktu sebentar saja, sampai satu jam atau sekejap, bisa pula seharian,
atau sebulan.
Bagaimana cara iktikaf saat masa pandemi?
Kalau kita melihat iktikaf haruslah di masjid, tidak bisa di rumah, walaupun
ada musala rumah. Berdiam di musala rumah tidak disebut sebagai iktikaf.
Sebagai gantinya di masa pandemi, perbanyaklah ibadah di rumah (giat baca
Al-Qur’an, kaji tafsirnya, berdzikir, perbanyak shalat sunnah, dll), termasuk
pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Moga kita tetap mendapatkan pahala
iktikaf karena pandemi ini jadi uzur yang membuat kita hanya bisa beribadah di
rumah.
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ
مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat
baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR.
Bukhari, no. 2996)
Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,
وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته
لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا
“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas
terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada
yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)
Semoga bermanfaat.
Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel
Rumaysho