Jumat, 30 Oktober 2020

Orang yang Diinginkan Kebaikan Oleh Allah

Orang yang Diinginkan Kebaikan Oleh Allah

View Article


Di antara manusia ada orang-orang yang Allah inginkan kebaikan padanya. Kita berharap mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diinginkan oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan tersebut. Tentunya kita tidak ingin kita termasuk orang yang Allah kehendaki keburukan ada pada diri kita. Lalu siapakah orang-orang yang Allah inginkan kebaikan bagi mereka? Berikut ciri-cirinya:


1. Dijadikan ia senantiasa beramal sholih sebelum kematian menjelang


Disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan lainnya [Dishahihkan oleh Syaikh Al-AlBani dalam shahih Jami’ no 304.], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إذا أراد الله بعبد خيرا استعمله قيل : ما يستعمله ؟ قال : يفتح له عملا صالحا بين يدي موته حتى يرضي عليه من حوله


“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allah jadikan ia beramal.” Lalu para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dijadikan dia beramal?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dibukakan untuknya amalan shalih sebelum meninggalnya sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya ridha kepadanya.”


2. Dipercepat sanksinya di dunia


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إذا أراد الله بعبده الخير عجل له العقوبة في الدنيا و إذا أراد بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافي به يوم القيامة


“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hamba-Nya, Allah akan segerakan sanksi untuknya di dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan kepada hamba-Nya, Allah akan menahan adzab baginya akibat dosanya (di dunia), sampai Allah membalasnya (dengan sempurna) pada hari Kiamat.” (HR. At-Tirmidzi dan Al Hakim dari Anas bin Malik) [Dishahihkan oleh Syaikh Al- AlBani dalam shahih Jami’ no 308.]


Namun kita tidak diperkenankan untuk meminta kepada Allah agar dipercepat sanksi kita di dunia, karena kita belum tentu mampu menghadapinya.


3. Diberikan cobaan


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


من يرد الله به خيرا يصب منه


“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan, Allah akan memberinya musibah.” (HR. Al-Bukhari).


Cobaan pasti akan menerpa kehidupan mukmin, karena itu merupakan janji Allah. Allah berfirman,


وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ


“Sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikan kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar” (QS. Al Baqarah: 155).


Bersabarlah ketika kita mendapatkan cobaan, karena cobaan itu untuk menggugurkan dosa atau mengangkat derajat.


Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ أَوْ الْمُؤْمِنَةِ فِي جَسَدِهِ وَفِي مَالِهِ وَفِي وَلَدِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ


“Senantiasa ujian itu menerpa mukmin atau mukminah pada jasadnya, harta dan anaknya sampai ia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani).


4. Dijadikan faham terhadap agama Islam


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين


“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam masalah agama (ini).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).


Kefaqihan adalah pemahaman yang Allah berikan kepada seorang hamba. Pemahaman yang lurus tentang Al-Qur’an dan hadits didasari dengan kebeningan hati dan aqidah yang shahih. Karena hati yang dipenuhi oleh hawa nafsu tidak akan dapat memahami Al-Qur’an dan hadits dengan benar.


5. Diberikan kesabaran


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


و ما أعطي أحد عطاء خيرا و أوسع من الصبر


“Tidaklah seseorang diberikan sesuatu yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).


Kesabaran dalam keimanan bagaikan kepala untuk badan. Badan tak akan hidup tanpa kepala, demikian pula iman tak akan hidup tanpa kesabaran. Untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya amat dibutuhkan kesabaran. Karena iblis dan balatentaranya tak pernah diam dari menyesatkan manusia dari jalan Allah. Allah berfirman,


وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ


“Tidaklah diberikan (sifat-sifat yang terpuji ini) kecuali orang-orang yang sabar, dan tidaklah diberikannya kecuali orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushshilat: 35).


Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang Engkau inginkan kebaikan, beri kami kesabaran untuk menjalankan perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu, beri kami kesabaran dalam menghadapi musibah yang menerpa, beri kami kefaqihan dalam agama dan bukakan untuk kami pintu amal shalih sebelum wafat kami.


Sumber Referensi :

- Rekaman ceramah berjudul  “Orang yang Diinginkan Kebaikan Oleh Allah”, oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam,Lc

- Artikel berjudul “Mereka yang Diinginkan Kebaikan Oleh Allah.” Sumber: Cintasunnah.com


Penulis: Dwi Pertiwi

Murojaah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Artikel muslimah.or.id

Kamis, 16 Juli 2020

Larangan Mencela Hujan dan Angin

Larangan Mencela Hujan dan Angin

View Article

Ketika hujan turun terus-menerus dan manusia mulai merasa terganggu aktivitas dan kesehariannya, bisa jadi mulai ada sebagian manusia yang mencela dan mencaci-maki hujan. Semisal:

“Hujan ini turun terus, membuat manusia menjadi sulit beraktivitas, hujan sialan”

Atau menunjukkan suatu ucapan atau perbuatan yang menunjukkan tidak ridha dengan hujan yang turun. Semisal ucapan:

“Yah hujan lagi, hujan lagi, aduh”

Perlu diketahui bahwa hujan itu adalah rahmat dari Allah. Allah berfirman,

ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳُﺮْﺳِﻞُ ﺍﻟﺮِّﻳَﺎﺡَ ﺑُﺸْﺮًﺍ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻱْ ﺭَﺣْﻤَﺘِﻪِ

“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan)…” (QS Al-A’raaf: 57)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa maksud rahmat pada ayat ini adalah hujan. Beliau berkata,

وقوله : ( بين يدي رحمته ) أي : بين يدي المطر

“Maksud dari ‘sebelum datangnya rahmat-Nya’ yaitu sebelum datang hujan.” [Tafsir Ibnu Katsir]

Dalam ayat lain juga Allah menyebutkan hujan sebagai rahmat. Allah berfirman,

ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳُﻨَﺰِّﻝُ ﺍﻟْﻐَﻴْﺚَ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻣَﺎ ﻗَﻨَﻄُﻮﺍ ﻭَﻳَﻨْﺸُﺮُ ﺭَﺣْﻤَﺘَﻪُ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟْﻮَﻟِﻲُّ ﺍﻟْﺤَﻤِﻴﺪُ

“Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji. ” (QS. Asy Syuura: 28).

Karena hujan adalah rahmat Allah, tentu kita dilarang mencela hujan dan angin yang bersama hujan tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَسُبُّوا الرِّيحَ

”Janganlah kamu mencaci maki angin.” [HR. Tirmidzi, shahih]

Allah yang mengatur waktu, cuaca dan seluruh alam semesta ini. Mencela dan memaki hal tersebut, berarti mencela Allah yang telah mengaturnya.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

”Allah ’Azza wa Jalla berfirman, “Anak Adam menyakitiKu. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” [HR. Muslim]

Bagaimana jika hujan terus-menerus turun tanpa henti?
Kita bisa berdoa kepada Allah yang mengatur hujan, agar hujan dialihkan dari kita, dengan doa berikut:

اَللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا، اَللَّهُمَّ عَلَى اْلآكَامِ وَالظِّرَابِ، وَبُطُوْنِ اْلأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

(Allahumma hawaalainaa wa laa ‘alainaa, Allahumma ‘alal aakaami wadz dzirabi wa buthunil awdiyati wa manabitis syajari)

“Ya Allah, Hujanilah di sekitar kami, jangan kepada kami. Ya, Allah, Berilah hujan ke daratan tinggi, beberapa anak bukit, perut lembah dan beberapa tanah yang menumbuhkan pepohonan.” [HR. Al-Bukhari 1/224 dan Muslim 2/614]

Atau untuk ringkasnya membaca:

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا، وَلاَ عَلَيْنَا

“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami dan tidak kepada kami.”

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,

المراد بالحديث الدعاء بصرف المطر عن الأبنية والدور، والآكام جمع أَكمةٍ بفتح الهمزة، وهي الجبل الصغير أو ما ارتفع من الأرض. والظِّراب بكسر الظاء جمع ظرب بكسر الراء، وهو الرابية الصغيرة، وأما ذكر الأودية فلأنها يتجمع فيها الماء ويمكث مدة طويلة ينتفع منه الناس والبهائم.

“Maksud hadits ini adalah memalingkan hujan dari bangunan dan pemukiman. Al-Aakaam adalah jamak dari akamah dengan memfathahkan hamzah, yaitu gunung kecil atau apa yang tinggi di bumi (dataran tinggi). Azh-zhiraab maknanya adalah bukit yang kecil. Adapun penyebutan lembah karena di situlah tempat berkumpulnya air dalam waktu yang lama sehingga bisa dimanfaatkan oleh manusia dan binatang ternak.” [Fathul Baari 2/505, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, syamilah]

Ibnu Daqiq Al-‘Ied rahimahullah menjelaskan ,

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى الدُّعَاءِ لِإِمْسَاكِ ضَرَرِ الْمَطَرِ. كَمَا اُسْتُحِبَّ الدُّعَاءُ لِنُزُولِهِ عِنْدَ انْقِطَاعِهِ. فَإِنَّ الْكُلَّ مُضِرٌّ

“Hadis ini merupakan dalil doa memohon dihentikan dampak buruk hujan, sebagaimana dianjurkan untuk berdoa agar turun hujan, ketika lama tidak turun. Karena semuanya membahayakan (baik lama tidak hujan atau hujan yang sangat lama, pent).” [Ihkam Al-Ahkam, 1/358. Mathba’ah As-Sunnah Muhammadiyyah, syamilah]

Demikian semoga bermanfaat


@ Yogyakarta Tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id

Rabu, 15 Juli 2020

Agar Olah Raga Bersepeda Berpahala

Agar Olah Raga Bersepeda Berpahala

View Article

Alhamdulillah olahraga sepeda mulai digemari di zaman ini. Olahraga bersepeda olahraga yang bagus dan cukup aman karena tidak terlalu memberatkan sendi. Olahraga ini cocok untuk berbagai usia termasuk orang tua sekalipun.

Di zaman ini, kita sangat perlu melakukan olahraga secara rutin, karena di zaman ini kita dimanjakan dengan berbagai macam sarana dan fasilitas yang menyebabkan tubuh kita kurang bergerak atau bahkan malas bergerak. Agama Islam pun mengajarkan agar kita selalu sehat dan kuat. Salah satu cara yang paling baik menjaga kesehatan dan stamina adalah dengan berolahraga rutin.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah.” [HR. Muslim]

Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan

أن المؤمن القوي في إيمانه ، والقوي في بدنه وعمله : خيرٌ من المؤمن الضعيف في إيمانه أو الضعيف في بدنه وعمله ؛ لأن المؤمن القوي يُنتج ويَعمل للمسلمين وينتفع المسلمون بقوته البدنية وبقوته الإيمانية وبقوته العملية

“(Yaitu) Seorang mukmin yang kuat iman dan kuat badan serta amalnya, ini lebih baik daripada seorang mukmin yang lemah imannya dan lemah badan serta amalnya, karena mukmin yang kuat akan produktif dan memberikan manfaat bagi kaum muslimin dengan kekuatan badan, iman dan amalnya.” [Al-Muntaqa 5/380]

Bagi yang hendak melakukan olahraga bersepeda hendaknya kita memperhatikan beberapa poin berikut:

Pertama: kita niatkan olahraga agar badan sehat dan mudah melakukan berbagai macam ibadah dan kebaikan yang bermanfaat bagi manusia. Olahraga ini hukumnya mubah, akan tetapi suatu hal yang mubah dan merupakan wasilah ibadah akan menjadi senilai dengan ibadah tersebut sesuai niatnya. Sebagaimana kaedah

الوسائل لها أحكام المقاصد

“Wasilah/sarana sesuai dengan hukum tujuannya”

Wasilah atau sarana itu sesuai dengan tujuan dari niatnya, apabila wasilah atau hal-hal yang mubah kita niatkan untuk kebaikan maka ia juga akan bernilai kebaikan. Hendaknya kita luruskan niat olahraga sepeda bukan hanya sekedar ikut-ikutan, adu gengsi, adu bagus-bagusan dan adu mahal-mahalan sepeda

Kedua: Hindari berlebihan dalam membeli sepeda dan aksesorisnya. Tidak harus sepeda yang mahal atau sepeda sport. Jika memang mampu, maka Alhamdulillah,  tetapi apabila tidak mampu jangan dipaksakan dan jangan sampai terkesan boros. Cukup dengan sepeda biasa saja, yang penting tetap bisa bersepeda dengan baik.  Jangan sampai seperti ada oknum yang dia kucing-kucingan atau sembunyi-sembunyi dari istrinya membeli sepeda mahal dan berbagai aksesoris mahal, sedangkan untuk membelikan sekedar perhiasan murah  bagi istrinya atau  dia sangat pelit

Ketiga: olahraga hukumnya mubah. Hendaknya jangan sampai hal yang mudah ini melalaikan kita dari tugas yang utama semisal ibadah yang wajib. Hindari bersepeda sampai berlebihan karena salah satu tanda Allah berpaling dan tidak peduli dengan hambaNya adalah dengan menyibukkan hamba tersebut dengan hal-hal yang mubah dan tidak bermanfaat. Misalnya berlebihan bersepeda itu meninggalkan istri dan anak di akhir pekan pada waktu liburan, ia pergi bersepeda seharian penuh. Padahal di akhir pekan itu ada hak istri dan anak-anak untuk bermain-main serta berekreasi dengan ayahnya, karena umumnya para ayah di hari kerja bekerja seharian

Keempat: Hindari adu gengsi dengan bersepeda terlalu jauh jaraknya, Menempuh jarak sampai puluhan bahkan ratusan kilometer, lalu pamer di grup, screenshot dan menyebarkan di berbagai macam sosmed. Tidak  jarang kita dengar berita ada orang yang kecelakaan dan kecapekan dalam bersepeda

Kelima: Hindari  bersepeda dengan rasa sombong dan mendominasi di jalan raya dengan menutup jalan bagi kendaraan lainnya.  Terkadang sepeda yang mahal dan  aksesoris yang mahal, kita merasa sombong seolah-olah kita menguasai jalan tersebut dan menyebabkan kendaraan yang lain susah berjalan

Keenam: Apabila kita tidak bisa bersepeda keluar karena istri tidak setuju, mungkin karena istri ditinggal terus,  kita bisa bersepeda indoor yaitu bersepeda di rumah. Sepeda di rumah juga masih bisa meraih manfaat lainnya, misalnya bersepeda  sambil mendengarkan kajian menonton kajian atau menonton hal-hal yang bermanfaat selama 30 menit selama 1 jam atau bersepeda sambil mengobrol ringan dengan keluarga

Kami yakin poin-poin diatas hanya segelintir oknum saja yang melakukannya. Kita tetap optimis Indonesia sehat dengan bersepeda demikian semoga bermanfaat. Mari tetap semangat olahraga dan berdoa agar dijauhkan dari sifat malas.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian).” [ HR. Bukhari no. 6367 dan Muslim no. 2706]



@ Lombok, Pulau Seribu Masjid
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id

Senin, 15 Juni 2020

Hendak Menikah? Inilah Waktu Berdoa Dengan Memegang Ubun-Ubun Istri

Hendak Menikah? Inilah Waktu Berdoa Dengan Memegang Ubun-Ubun Istri

View Article

Kapan waktunya kita membacakan doa dengan memegang ubun-ubun istri? Apakah begitu akad selesai, atau kapan? Jazakallahu khoiron (Disampaikan oleh Admin BiAS)

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Berdoa Dengan Memegang Ubun-Ubun Istri

Semoga Alloh karuniakan pada anda dan kita semua, keluarga sakinah yang senantiasa diberkahi oleh Alloh Azza wa ‘Jalla

Saudaraku saudariku sekalian yang mencintai Sunnah dan dicintai oleh Alloh, saat pertama kali mempelai pria menemui istrinya setelah aqad nikah ada beberapa Sunnah yang hendaknya ia lakukan, yakni berdoa memohon kebaikan pasangan dan sholat 2 rokaat.

Diantara doa yang Masyhur dalam memohon kebaikan pasangan adalah apa yang disampaikan Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam dalam Haditsnya;

إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا (وَلْيُسَمِّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ) وَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ، وَلْيَقُلْ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a keberkahan sembari mengucapkan:

Allaahumma innia as-aluka min khairihaa, wa khairi maa jabaltahaa ‘alaihi. Wa ‘auadzubika min syarrihaa, wa syarri maa jabaltahaa ‘alaihi.

‘Yaa Alloh, aku memohon kebaikannya dan kebaikan perangainya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan perangainya yang ia bawa’” (HR Abu Dawud 2160, Ibnu Majah 1918)

Sholat Dulu atau Doa Dulu?

Pertanyaannya adalah mana yang didahulukan, doanya dulu atau sholat 2 rokaat dulu?
Dijelaskan dalam Hadits Abu Sa’id, mantan budak Abu Usaid

تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً ، وَأَنَا مَمْلُوكٌ ، فَدَعَوْتُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فِيهِمْ أَبُو ذَرٍّ ، وَابْنُ مَسْعُودٍ ، وَحُذَيْفَةُ ، فَتَقَدَّمَ حُذَيْفَةُ لِيُصَلِّيَ بِهِمْ ، فَقَالَ أَبُو ذَرٍّ ، أَوْ رَجُلٌ : لَيْسَ لَكَ ذَلِكَ ، فَقَدَّمُونِي ، وَأَنَا مَمْلُوكٌ ، فَأَمَمْتُهُمْ فَعَلَّمُونِي قَالُوا : إِذَا أُدْخِلَ عَلَيْكَ أَهْلُكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ، وَمُرْهَا فَلْتُصَلِّ خَلْفَكَ ، وَخُذْ بِنَاصِيتِهَا ، وَسَلِ اللَّهَ خَيْرًا ، وَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا

Abu Sa’id berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Sahabat Nabi, di antaranya Abu Dzarr, ‘Abdullah bin Mas’ud, dan Hudzaifah rodhiallohu ‘anhum.

Hingga tibalah waktu sholat, Hudzaifah hendak mengimami sholat. Tetapi Abu Dzarr -atau selainnya- berkata:

‘Bukan kamu (Hudzaifah) yang mengimami sholat, lalu aku diminta maju kedepan (menjadi imam) saat masih berstatus budak, aku pun maju mengimami mereka sholat. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua sholat dua raka’at. Mintalah istrimu sholat dibelakangmu, lalu pegang ubun-ubunnya, dan berdoalah kepada Alloh kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya’” (HR ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, nomor 10160]

Begitu juga dalam Hadits dari Abu Waail,

عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ مِنْ بَجِيلَةَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ ، فَقَالَ : إِنِّي قَدْ تَزَوَّجْتُ جَارِيَةً بِكْرًا ، وَإِنِّي قَدْ خَشِيتُ أَنْ تَفْرِكَنِي ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ : إِنَّ الْإِلْفَ مِنَ اللَّهِ ، وَإِنَّ الْفَرْكَ مِنَ الشَّيْطَانِ ، لِيُكَرِّهَ إِلَيْهِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَهُ ، فَإِذَا أُدْخِلَتْ عَلَيْكَ فَمُرْهَا فَلْتُصَلِّ خَلْفَكَ رَكْعَتَيْنِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ : وَقُلِ : اللَّهُمَّ ، بَارِكْ لِي فِي أَهْلِي ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ ، اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي مِنْهُمْ ، وَارْزُقْهُمْ مِنِّي ، اللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ إِلَى خَيْرٍ ، وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ

Ia berkata, “Seseorang datang dari Bajilah kepada ‘Abdulloh bin Mas’ud rodhiallohu ‘anhu, lalu berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis budak, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdulloh bin Mas’ud berkata, ‘Sejatinya cinta berasal dari Alloh, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Alloh. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua rokaat di belakangmu.

Kemudian Abdulloh bin Mas’ud mengajarkan doa, ucapkanlah

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِي فِي أَهْلِيْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ، اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِي مِنْهُمْ، وَارْزُقْهُمْ مِنِّي، اَللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ إِلَى خَيْرٍ، وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ

“Yaa Alloh, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Yaa Alloh, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Yaa Alloh, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan” (HR ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, nomor 10158, 10159]

Dari keterangan diatas kita bisa simpulkan bahwa, doa kebaikan untuk pasangan (apapun versinya, baik itu doa yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah, atau doa yang disebutkan dalam riwayat Abdurrazaq) hendaknya dilakukan setelah sholat 2 rokaat berjamaah dengan istri.

Semoga Allah kumpulkan kita dan keluarga kita bersama-sama hingga Jannah-Nya. Wallahu A’lam, Wabillahittaufiq.


Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
Kamis, 25 Rabiul Akhir 1441 H/ 12 Desember 2019 M

Jumat, 05 Juni 2020

Hukum Shalat Berjamaah dengan Jarak Antara Jamaah Satu Meter

Hukum Shalat Berjamaah dengan Jarak Antara Jamaah Satu Meter

View Article

Afdal mana, meninggalkan shalat berjamaah di masjid ataukah tetap shalat berjamaah dan shafnya saling berjauhan?

Ada beberapa poin yang bisa dipahami:

Pertama, hukum shalat berjamaah itu wajib sebagaimana pendapat dalam madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang lelaki buta. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun yang menuntunku ke masjid.’ Maka ia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendapatkan keringanan sehingga dapat shalat di rumahnya. Pada awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya keringanan tersebut. Ketika orang itu mau berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata kepadanya,

هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ؟

‘Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Ia menjawab,

نَعَمْ

‘Ya.’ Beliau bersabda,

فَأجِبْ

‘Penuhilah panggilan azan tersebut.’” (HR. Muslim, no. 503)

Kedua, jika mendapati uzur, shalat berjamaah bisa gugur termasuk saat wabah corona ini melanda. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, beliau tidak melakukan shalat berjamaah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,

مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ

“Perintahkanlah kepada Abu Bakar untuk memimpin shalat.” (HR. Bukhari, no. 664 dan Muslim, no. 418)

Ada kaedah fikih yang berbunyi,

المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ

“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”

Atau seperti ibarat yang diungkapkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al-Umm,

إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ

“Jika perkara itu sempit, datanglah kelapangan.”

Dalil dari kaedah di atas adalah firman Allah,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، ولَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ

“Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang memperberat diri dalam beragama, dialah yang akan kalah.” (HR. Bukhari, no. 39)

Ketiga, ada yang menyatakan, “Wabah juga muncul di masa silam namun tidak ada peniadaan shalat berjamaah.”

Jawaban: Kalimat ini perlu ditinjau ulang. Karena wabah virus corona yang saat ini ada berbeda dengan wabah di masa silam. Para pakar menilai bahwa virus ini benar-benar berbahaya. Virus ini bisa menyebar begitu cepat. Bahkan dari orang yang sehat dan kuat pun bisa terkena virus ini, walaupun ia tidak merasakan gejala apa-apa. Fatwa itu akan berbeda sesuai zaman dan tempat masing-masing.

Lihat sanggahan dari Syaikh Khalid Al-Musyaiqih dalam Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 13-14.

Keempat, jika ada yang shalat di rumah padahal sudah terbiasa shalat berjamaah, ia tetap dicatat pahala sempurna di sisi Allah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)

Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan,

وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا

“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)

Menghadapi New Normal Saat Masjid Mulai Diizinkan Dibuka

Apakah shalat berjamaah menjadi wajib pada saat masjid-masjid dibuka padahal masih adanya virus?

Jika ada orang yang telah berusia lanjut, orang yang sakit kronis, orang yang terhalang penyakit, atau keadaan yang masih kurang aman di daerahnya, hendaklah mereka-mereka shalat di rumah mereka saja karena adanya penghalang. Sedangkan laki-laki yang lainnya, maka tidaklah masalah mendirikan shalat berjamaah dengan memperhatikan protokoler yang ada. (Syaikh Prof. Dr. Sulaiman Ar-Ruhaily pada akun twitternya).

الصلاة في ظل جائحة كورونا
هل تجب صلاة الجماعة حال فتح المساجد مع وجود الفيروس؟
كبار السن والمرضى بالأمراض المزمنة ومن يتعاطون الأدوية المخفضة للمناعة ومن توجد حالات في منطقتهم يصلون في بيوتهم لبقاء المانع ، وأما غيرهم من الرجال فتجب عليهم الجماعة إذا أمكن التزامهم بالاحترازات
الشيخ أ.د/سليمان الرحيلي | تويتر

Shalat berjamaah punya keutamaan yang besar. Oleh karena itu, ada perubahan tata cara pelaksanaannya dalam shalat khauf untuk menjaga keberlangsungan shalat berjamaah. Ketika itu masbuk melaksanakan shalat bersama imam dengan perubahan tata cara shalat demi terjaganya shalat berjamaah. Dari alasan itu, lebih layak untuk dibolehkan mengubah bentuk shaf dalam shalat berjamaah demi terjaganya shalat tersebut, walaupun akhirnya shaf terlihat renggang (tidak rapat), hal itu tidak termasuk bidah. (Syaikh Prof. Dr. Sulaiman Ar-Ruhaily pada akun twitternya).

الصلاة في ظل جائحة كورونا (تراص الصف)
صلاة الجماعة شأنها عظيم ولذا جاء تغيير هيئة الصلاة في صلاة الخوف للمحافظة على الجماعة ، ويصلي المسبوق مع الإمام مع تغير هيئة الصلاة في حقه للمحافظة على الجماعة فمن باب أولى جواز تغير هيئة الصف للمحافظة على الجماعة فالتباعد مشروع وليس بدعة
الشيخ أ.د/سليمان الرحيلي | تويتر

Kesimpulan menghadapi keadaan “new normal” saat masjid-masjid mulai dibolehkan dibuka
Jikalau pemerintah telah membolehkan shalat di masjid dan masjid-masjid akhirnya dibuka, silakan untuk melaksanakan shalat di masjid dengan memperhatikan protokoler yang telah ditetapkan. 

Semoga Allah segera mengangkat musibah wabah ini dari negeri kita tercinta. Moga badai segera berlalu.



Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho

Jumat, 15 Mei 2020

Begini Cara Iktikaf di Rumah Saat Masa Pandemi

Begini Cara Iktikaf di Rumah Saat Masa Pandemi

View Article

Bahasan kali ini disarikan dari bahasan Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i karya Syaikh Muhammad Az-Zuhaily pada bahasan iktikaf. Aturan-aturan berikut yang dipakai madzhab Syafii saat iktikaf. Moga bisa membantu dalam memahami iktikaf saat masa pandemi yang mengharuskan kita di rumah saja.

Pengertian iktikaf

Iktikaf secara etimologi berarti menetapi, tidak meninggalkan. Menurut Imam Syafii, menetapnya seseorang pada sesuatu disebut dengan iktikaf, terserah ada yang menetap pada kebaikan atau kemaksiatan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” (QS. Al-Anbiya’: 52)

Tentang iktikaf (menetap) dalam kebaikan disebutkan dalam ayat,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Iktikaf secara istilah syari (terminologi) adalah menetap di dalam masjid, dilakukan oleh orang tertentu, dengan niat yang khusus. Istilah iktikaf di sini hanyalah iktikaf dalam kebaikan saja.

Rukun dan syarat iktikaf

Pertama: Orang yang beriktikaf haruslah memenuhi tiga syarat yaitu Islam, berakal, dan bersih dari hadats besar (yaitu junub, haidh, dan nifas).

Yang masih sah iktikafnya: (1) anak kecil yang sudah tamyiz, (2) wanita yang sudah bersuami dengan syarat telah diizinkan suaminya. Jika wanita ini iktikaf tanpa izin suami, berarti ia dianggap menyelisihi, iktikafnya tetap sah, namun melakukan keharaman.

Kedua: Masjid

Iktikaf hanyalah sah jika dilakukan di masjid, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily menyatakan, “Iktikaf di musala rumah wanita atau di musala laki-laki. Tempat semacam ini masih bisa diubah dan orang junub masih boleh berdiam di dalamnya. Para wanita di masa dulu selalu melakukan iktikaf di masjid. Karena memang iktikaf itu hanyalah di masjid. Hal ini sebagaimana firman Allah,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).” (Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:228)

Berdasarkan ittiba’ dan ijmak, masjid adalah syarat dilakukannya iktikaf.

Iktikaf ini bisa dilakukan di setiap masjid. Masjid jamik yang didirikan shalat Jumat di dalamnya lebih utama dan afdal karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan iktikaf di masjid jamik. Alasan afdal lainnya, jumlah jamaah di masjid biasa lebih banyak. Memilih masjid jamik juga akan lepas dari perselisihan pendapat, karena ada yang berpendapat bahwa iktikaf di masjid jamik itu jadi syarat wajib. Kalau yang dipilih adalah masjid jamik, tentu tidak perlu keluar untuk shalat Jumat ke masjid lainnya.

Ketiga: Berniat

Hukumnya adalah wajib mengawali iktikaf dengan niat, yakni berniat menetap di masjid selama waktu tertentu untuk ibadah.

Keempat: Menetap di masjid

Orang yang beriktikaf haruslah menetap di masjid selama waktu tertentu yang disebut diam secara urf (menurut kebiasaan). Para ulama Syafiiyah katakan sekadar lamanya thumakninah ketika rukuk dan semacamnya. Kalau hanya lewat dari satu pintu menuju pintu lainnya tidaklah disebut iktikaf. Diamnya di masjid tidaklah harus satu malam penuh. Akan tetapi, disunnahkan iktikaf dilakukan sehari.

Waktu iktikaf

Iktikaf boleh dilakukan pada waktu malam atau siang, juga termasuk pada waktu terlarang untuk shalat, boleh juga iktikaf dilakukan saat hari raya Idulfitri dan Iduladha, serta hari-hari tasyrik.

Syarat iktikaf adalah berdiam di masjid, boleh dalam waktu lama, bisa pula dalam waktu sebentar saja, sampai satu jam atau sekejap, bisa pula seharian, atau sebulan.

Bagaimana cara iktikaf saat masa pandemi?

Kalau kita melihat iktikaf haruslah di masjid, tidak bisa di rumah, walaupun ada musala rumah. Berdiam di musala rumah tidak disebut sebagai iktikaf.

Sebagai gantinya di masa pandemi, perbanyaklah ibadah di rumah (giat baca Al-Qur’an, kaji tafsirnya, berdzikir, perbanyak shalat sunnah, dll), termasuk pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Moga kita tetap mendapatkan pahala iktikaf karena pandemi ini jadi uzur yang membuat kita hanya bisa beribadah di rumah.

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)

Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,

وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا

“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)

Semoga bermanfaat.


Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho

Senin, 30 Maret 2020

Wabah Makin Menyebar Karena Salah Jalan dalam Beragama

Wabah Makin Menyebar Karena Salah Jalan dalam Beragama

View Article

Coba baca dulu kisah ini disebutkan kejadian nyata yang terjadi di masa Ibnu Hajar Al-Asqalani dan pada masa sebelum beliau, sama-sama dulu pernah terjadi wabah. Namun salah dalam penyikapan karena berbuat hal yang tidak diizinkan dalam agama.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menceritakan dalam Badzlu Al-Maa’uun fii Fadhli Ath-Thaa’uun (hlm. 329), “Aku coba ceritakan, telah terjadi di masa kami ketika terjadi wabah ath-tha’un di Kairo pada 27 Rabiul Akhir 833 Hijriyah. Awalnya baru jatuh korban meninggal di bawah empat puluh. Kemudian orang-orang pada keluar menuju tanah lapang pada 4 Jumadal Ula, setelah sebelumnya orang-orang diajak untuk berpuasa tiga hari sebagaimana dilakukan untuk shalat istisqa’ (shalat minta hujan). Mereka semua berkumpul, mereka berdoa, kemudian mereka berdiri, dalam durasi satu jam lalu mereka pulang. Setelah acara itu selesai, berubahlah korban yang meninggal dunia menjadi 1.000 orang di Kairo setiap hari. Kemudian jumlah yang jatuh korban pun terus bertambah.”

Di halaman sebelumnya, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Adapun kumpul-kumpul (untuk mengatasi wabah) sebagaimana dilakukan, maka seperti itu termasuk bidah. Hal ini pernah terjadi saat wabah ath-tha’un yang begitu dahsyat pada tahun 749 Hijriyah di Damaskus. Aku membacanya dalam Juz Al-Munbijy setelah ia mengingkari pada orang yang mengumpulkan khalayak ramai di suatu tempat. Di situ mereka berdoa, mereka berteriak keras. Ini terjadi pada tahun 764 H, ketika itu juga tersebar wabah ath-tha’un di Damaskus. Ada yang menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada tahun 749 H, di mana orang-orang keluar ke tanah lapang, masa jumlah banyak ketika itu keluar di negeri tersebut, lantas mereka beristighatsah (minta dihilangkan bala). Ternyata setelah itu wabah tadi makin menyebar dan makin jatuh banyak korban, padahal sebelumnya korban tidak begitu banyak.”

Pelajaran penting:
- segala sesuatu berdasarkan ilmu, bukan berdasarkan semangat.
- kadang maslahat kemanusiaan lebih didahulukan dari maslahat keagamaan.
- harusnya yang ditimbang-timbang dalam ibadah adalah kaidah:

دَرْأُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ

“Menolak bahaya lebih didahulukan daripada meraih maslahat.”

Renungkanlah!

Maka silakan Anda timbang-timbang yang sama-sama terjadi di negeri lain bahkan di negeri kita sendiri ada yang karena kebodohan dan salah strategi. Ada juga amalan khurafat yang diamalkan masyarakat.

1. Di Malaysia, jumlah korban terinfeksi corona bertambah drastis dalam sehari gegara ulah jamaah yang mengundang ribuan orang dari berbagai negara untuk berkumpul. Jamaah ini juga nyaris membuat hal yang sama dengan mengadakan ijtimak dunia di Gowa, Sulawesi Selatan.
2. Di Iran, virus corona makin menyebar karena pengkultusan kaum syiah dengan mencium kuburan orang-orang saleh mereka.
3. Di Korea Selatan, virus corona makin menyebar karena ada satu pasien positif corona yang tidak mengindahkan keadaannya lalu menyebarkan virus pada saat misa gereja.
4. Ada lagi seorang tokoh panutan menyarankan makan bawang ditambah shalawat 1616 kali untuk mencegah wabah.
5. Ada juga yang meyakini dengan memajang foto seorang tokoh, wabah akan sulit masuk dalam rumah.
6. Ada lagi ritual tolak bala dengan mengumpulkan masa dalam jumlah besar di beberapa daerah di negeri kita.

Maka cerdaslah dalam beragama dalam menyikapi wabah.

Lebih jelasnya tentang kisah pada masa Ibnu Hajar, silakan kaji lebih jauh dari buku:
20 Doa dan Dzikir Saat Wabah Melanda

Baca Juga: Khurafat Saat Wabah Corona: Buat Sayur Lodeh Tujuh Macam



#DarushSholihin, Kamis siang, 1 Syakban 1441 H, 26 Maret 2020
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumasyho

Selasa, 17 Maret 2020

Mati Karena Virus Corona, Apakah Mati Syahid?

Mati Karena Virus Corona, Apakah Mati Syahid?

View Article

Apakah mati karena virus corona tergolong mati syahid? Pertama kali akan dikaji lebih dahulu, apakah virus corona masuk kategori ath-tha’un (wabah yang mematikan) ataukah tidak? Baru nanti akan dibahas apakah dapat dikatakan mati syahid jika ada yang mati karena corona? Lalu syarat disebut syahid apakah sama dengan syahid di medan perang?

Apakah virus corona termasuk ath-tha’un ataukah al-waba’?

Para ulama berbeda pendapat tentang pengeritan ath-tha’un dan al-waba’. Ada yang menganggap keduanya itu sama dan ada yang membedakan keduanya.

Menurut pakar bahasa arab dan pakar kesehatan, al-waba’ (wabah) adalah penyakit yang menular pada suatu wilayah, bisa penyebarannya cepat dan meluas. Sedangkan ath-tha’un adalah wabah yang menyebar lebih luas dan menimbulkan kematian. Inilah pengertian ath-tha’un menurut pakar bahasa dan ulama fikih.

Para ulama menganggap bahwa virus corona masuk dalam kategori ath-tha’un. Ulama saat ini yang berpendapat demikian adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh (mufti ‘aam kerajaan Saudi Arabia), Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr (ulama besar di kota Madinah), juga Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily (ulama besar di kota Madinah).

Apalagi kalau kita melihat pandangan WHO bahwa virus corona sudah masuk pandemik, lebih jelas lagi kita menyebutnya sebagai ath-tha’un.

Jika termasuk ath-tha’un, muslim yang mati karena virus corona tergolong syahid.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Orang yang mati syahid ada lima, yakni orang yang mati karena ath-tha’un (wabah), orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari, no. 2829 dan Muslim, no. 1914)

Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْقَتِيلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ وَالْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Orang yang terbunuh di jalan Allah (fii sabilillah) adalah syahid; orang yang mati karena ath-tha’un (wabah) adalah syahid; orang yang mati karena penyakit perut adalah syahid; dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid.” (HR. Ahmad, 2: 522. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan ‘Adil Mursyid menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).

Dari Jabir bin ‘Atik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِى يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ

“Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ‘azza wa jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban ath-tha’un (wabah) adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan (dalam keadaan nifas atau dalam keadaan bayi masih dalam perutnya, pen.) adalah syahid.” (HR. Abu Daud, no. 3111. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat keterangan ‘Aun Al-Ma’bud, 8: 275)

Di antara maksud syahid sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Ambari,

لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى وَمَلَائِكَته عَلَيْهِمْ السَّلَام يَشْهَدُونَ لَهُ بِالْجَنَّةِ . فَمَعْنَى شَهِيد مَشْهُود لَهُ

“Karena Allah Ta’ala dan malaikatnya ‘alaihimus salam menyaksikan orang tersebut dengan surga. Makna syahid di sini adalah disaksikan untuknya.” (Syarh Shahih Muslim, 2:142, juga disebutkan dalam Fath Al-Bari, 6:42).

Ibnu Hajar menyebutkan pendapat lain, yang dimaksud dengan syahid adalah malaikat menyaksikan bahwa mereka mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir hidup yang baik). (Lihat Fath Al-Bari, 6:43)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa syahid itu ada tiga macam:

1. Syahid yang mati ketika berperang melawan kafir harbi (yang berhak untuk diperangi). Orang ini dihukumi syahid di dunia dan mendapat pahala di akhirat. Syahid seperti ini tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.

2. Syahid dalam hal pahala namun tidak disikapi dengan hukum syahid di dunia. Contoh syahid jenis ini ialah mati karena melahirkan, mati karena wabah penyakit, mati karena reruntuhan, dan mati karena membela hartanya dari rampasan, begitu pula penyebutan syahid lainnya yang disebutkan dalam hadits shahih. Mereka tetap dimandikan, dishalatkan, namun di akhirat mendapatkan pahala syahid. Namun pahalanya tidak harus seperti syahid jenis pertama.

3. Orang yang khianat dalam harta ghanimah (harta rampasan perang), dalam dalil pun menafikan syahid pada dirinya ketika berperang melawan orang kafir. Namun hukumnya di dunia tetap dihukumi sebagai syahid, yaitu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Sedangkan di akhirat, ia tidak mendapatkan pahala syahid yang sempurna. Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim, 2: 142-143).

Dari pembagian Imam Nawawi rahimahullah di atas, jika ada yang mati karena virus corona, makai a masuk dalam golongan syahid yang kedua.

Syarat syahid adalah bersabar dan berharap pahala dari Allah

Dari Yahya bin Ya’mar, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan kepadanya bahwa ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ath-tha’un (wabah yang menyebar dan mematikan), maka beliau menjawab,

كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ ، مَا مِنْ عَبْدٍ يَكُونُ فِى بَلَدٍ يَكُونُ فِيهِ ، وَيَمْكُثُ فِيهِ ، لاَ يَخْرُجُ مِنَ الْبَلَدِ ، صَابِرًا مُحْتَسِبًا ، يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ

“Itu adalah adzab yang Allah turunkan pada siapa saja yang Allah kehendaki. Namun Allah menjadikannya sebagai rahmat kepada orang beriman. Tidaklah seorang hamba ada di suatu negeri yang terjangkit wabah di dalamnya, lantas ia tetap di dalamnya, ia tidak keluar dari negeri tersebut lalu bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, ia tahu bahwa tidaklah wabah itu terkena melainkan dengan takdir Allah, maka ia akan mendapatkan pahala syahid.” (HR. Bukhari, no. 6619)

Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dimaksud sebagai adzab adalah untuk orang kafir dan ahli maksiat. Sedangkan wabah itu jadi rahmat untuk orang beriman. Lihat Fath Al-Bari, 10:192.



Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho

Dikembangkan dari:
Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah Al-Muta’alliqah bi Al-Waba’ wa Ath-Tha’uun (Ma’a Dirosah Fiqhiyyah li Al-Ahkam Al-Muta’alliqah bi Virus Corona). Abu ‘Abdil ‘Aziz Haitam bin Qasim Al-Hamri. Terbitan 1441 H, 2020.
Ini Hukum Shalat Menggunakan Masker

Ini Hukum Shalat Menggunakan Masker

View Article

Para ulama sepakat bahwa menutup mulut dalam shalat hukumnya makruh. Baik bagi laki-laki maupun wanita. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 52652).

Dihukumi makruh, mengingat adanya larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat. (HR. Abu Daud 643, Ibnu Majah 966, Ibnu Hibban 2353, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Tindakan menutup mulut atau hidung disebut dengan istilah talatsum [arab: التلثم].

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Nafi,

عن نافع، عن ابن عمر: «أنه كره أن يتلثم الرجل في الصلاة»

Dari Nafi’ dan Ibnu Umar, bahwa beliau membenci seseorang melakukan talatsum ketika shalat. (al-Mushannaf, no. 7306).

عن سعيد بن المسيب، وعكرمة: «أنهما كرها أن يتلثم الرجل في الصلاة»

Dari Said bin Musayib dan Ikrimah bahwa keduanya membenci seseorang melakukan talatsum ketika shalat. (al-Mushannaf, no. 7307).

عن طاوس: «أنه كره أن يصلي الرجل متلثما»

Juga dari Thawus, bahwa beliau membenci seseorang shalat dengan talatsum. (al-Mushannaf, no. 7308).

عن الحسن: «أنه كره للرجل أن يصلي متلثما»

Kemudian dari Hasan al-Bashri bahwa beliau membenci seseorang shalat dengan talatsum. (al-Mushannaf, no. 7310).

Makruh dan Tidak Membatalkan Shalat

Artinya jika ada orang yang melakukannnya ketika shalat, shalatnya sah dan tidak perlu diulangi, sekalipun dia lakukan secara sengaja.

An-Nawawi menegaskan,

ويكره أن يصلي الرجل متلثما أي مغطيا فاه بيده أو غيرها… وهذه كراهة تنزيه لا تمنع صحة الصلاة

Makruh seseorang melakukan shalat dengan talatsum, artinya menutupi mulutnya dengan tangannya atau yang lainnya…. Makruh disini adalah makruh tanzih (tidak haram), tidak menghalangi keabsahan shalat. (al-Majmu’, 3/179).


Makruh menjadi Mubah

Diantara kaidah yang ditetapkan para ulama dalam ushul Fiqh,

الكراهة تندفع مع وجود الحاجة

“Hukum makruh menjadi hilang, jika ada kebutuhan.”

Ibnu Abdil Bar mengatakan,

أجمعوا على أن على المرأة أن تكشف وجهها في الصلاة والإحرام، ولأن ستر الوجه يخل بمباشرة المصلي بالجبهة والأنف ويغطي الفم، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم الرجل عنه. فإن كان لحاجة كحضور أجانب فلا كراهة، وكذلك الرجل تزول الكراهة في حقه إذا احتاج إلى ذلك

Para ulama sepakat bahwa wanita harus membuka wajahnya ketika shalat dan ihram, karena menutup wajah akan menghalangi orang yang shalat untuk menempelkan dahi dan hidungnya, dan menutupi mulut. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang lelaki untuk melakukan hal ini. Namun jika ada kebutuhan, misalnya ada banyak lelaki non mahrom, maka hukumnya tidak makruh. Demikian pula lelaki, hukumnya menjadi tidak makruh jika dia butuh untuk menutupi mulutnya. (dinukil dari al-Mughni, Ibnu Qudamah, 1/432).

Bagi mereka yang sedang dilanda musibah debu, shalat dengan menggunakan masker, hukumnya mubah. Allahu a’lam



Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Dewan Pembina Konsultasisyariah.com
Artikel Konsultasisyariah

Sabtu, 14 Maret 2020

Bagaimana Hukum Menimbun Barang Dalam Islam?

Bagaimana Hukum Menimbun Barang Dalam Islam?

View Article

Hukum Menimbun Barang

عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم. قَالَ: لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

Dari Ma’mar bin Abdullah; Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (H.r. Muslim, no. 1605)

عن القاسم بن يزيد عن أبي أمامة قال : نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يحتكر الطعام

Dari Al-Qasim bin Yazid dari Abu Umamah; beliau mengatakan, “Rasulullah melarang penimbunan bahan makanan.” (H.r. Hakim, no. 2163, dalam At-Talkhish, Adz-Dzahabi tidak memberikan komentar untuk hadis ini)

Dua hadis di atas adalah dalil yang menunjukkan haramnya perilaku menimbun barang yang dibutuhkan oleh banyak orang.

Dengan mempertimbangkan hadis yang kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan yang haram itu hanya berlaku untuk bahan makanan pokok (baca: beras) karena pada umumnya masyarakat banyak akan kesusahan karena adanya pihak-pihak tertentu yang melakukan penimbunan bahan makanan pokok. Inilah pendapat Syafi’iyah dan Hanafiyah. Adapun Imam Malik dan Sufyan Ats-Tsauri, maka beliau berdua melarang penimbunan segala macam barang.

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua, dengan memepertimbangkan hadis pertama di atas yang bersifat umum. Adapun terkait hadis kedua, berlaku sebuah kaidah dalam ilmu ushul fikih, yang mengatakan bahwa disebutkannya salah satu anggota bagian dari kata-kata yang bersifat umum –dengan hukum yang sejalan dengan hukum yang berlaku untuk kata-kata umum– tidak menunjukkan adanya pengkhususan.

Oleh karena itu, semua bentuk penimbunan barang itu terlarang dalam ajaran Islam, baik beras, sembako secara umum, atau pun non-sembako.

Namun, kita perlu mengetahui tentang makna kata “penimbunan”.

An-Nawawi Asy-Syafi’i mengatakan bahwa penimbunan yang haram adalah memborong bahan makanan (demikian pula yang lain, pent.) saat harga barang tersebut mahal, dan tujuan kulakan tersebut adalah untuk dijual kembali. Akan tetapi, ternyata orang tersebut tidak langsung menjual barang yang telah dia borong, namun barang tersebut dia simpan supaya harganya menjadi makin mahal.

Dengan demikian, jika seseorang memborong barang untuk kebutuhan pribadinya manakala harganya murah, lalu barang tersebut dia simpan kemudian baru dia jual saat harganya mahal, maka tindakan tersebut tidak termasuk penimbunan yang haram.

Demikian pula, jika seorang itu memborong suatu barang saat harganya mahal –untuk dijual kembali– dan dia jual kembali saat itu pula, maka itu tidak termasuk tindakan penimbunan yang haram. (Al-Minhaj Syarah Muslim bin Al-Hajjaj, 11:41)

Kesimpulannya, dua hal yang dinilai oleh An-Nawawi bukan termasuk “menimbun yang terlarang” adalah hal yang boleh dilakukan dengan syarat tidak menyebabkan adanya pihak-pihak yang dirugikan dengan tindakan tersebut, dan hal tersebut tidak menyebabkan melambungnya harga barang-barang yang dia borong.

Tidaklah termasuk menimbun jika seseorang memborong suatu barang lalu dia simpan di gudangnya, lantas dia jual sedikit demi sedikit karena orang ini tidaklah menahan barang dagangan tersebut, tidak menyebabkan harga barang tersebut melambung, serta tidak merugikan pasar.

عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ عُمَرَ – رضى الله عنه – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَبِيعُ نَخْلَ بَنِى النَّضِيرِ ، وَيَحْبِسُ لأَهْلِهِ قُوتَ سَنَتِهِمْ

Dari Malik bin Aus dari Umar; sesungguhnya Nabi menjual pohon-pohon kurma yang semula adalah milik Bani Nadir, dan beliau menyimpan bahan makanan pokok untuk kebutuhan keluarganya selama setahun. (H.r. Bukhari, no. 5042; Muslim, no. 1757)

Hadis di atas menunjukkan bahwa tidaklah termasuk menimbun seorang yang menyimpan bahan makanan, misalnya: beras, jika untuk dikonsumsi sendiri tanpa ada tujuan untuk diperjualbelikan.



Refensi: Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah, karya Adil bin Yusuf Al-Azzazi, jilid 3, hlm. 321–323.
Artikel PengusahaMuslim

Senin, 09 Maret 2020

Penyakit itu Bernama Futur!

Penyakit itu Bernama Futur!

View Article

Adakalanya seorang penuntut ilmu, atau ahli ibadah merasa futur. Ketika mata sebenarnya menatap tempat sujud, tapi hati berada di tempat yang lainnya. Ketika raga berada di majelis ilmu, namun jiwa dan pikiran fokus kepada hal lainnya.

Apa itu Penyakit Futur?

Futur yaitu: rasa malas, enggan, dan lamban dalam melakukan kebaikan, yang mana sebelumnya seseorang rajin dan bersemangat melakukannya. Futur adalah penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan suatu aktivitas kebaikan.

Di antara sebab-sebab munculnya penyakit futur adalah sebagai berikut :

1). Hilangnya keikhlasan.
2). Lemahnya ilmu Syar’i.
3). Kecintaan hati yang besar kepada dunia dan banyak melupakan akhirat.
4). Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.
5). Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
6). Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dalam meraih kebaikan.
7). Melakukan dosa serta memakan makanan yang haram.
8). Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).
9). Lemahnya iman.
10). Menyendiri, dan tidak mau bergabung dengan saudara seiman yang lainnya, saling tolong menolong dalam kebaikan.
11). Lemahnya pendidikan (tarbiyyah) imaniyyah.

Kiat Mengobati Penyakit Futur

Allah mentakdirkan adanya penyakit futur, tentulah Allah memberikan obatnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya, “Banyak penuntut ilmu agama yang lemah tekadnya dan futur dalam menuntut ilmu. Sarana apa saja yang dapat membangkitkan tekad dan semangat dalam menuntut ilmu?“. Beliau menjawab: “Dha’ful himmah (tekad yang lemah) dalam menuntut ilmu agama (Islam) adalah salah satu musibah yang besar. Untuk mengatasi ini ada beberapa hal:

1. Mengikhlaskan niat hanya untuk Allah ‘Azza Wa Jalla dalam menuntut ilmu

Niat dalam melakukan suatu perbuatan (yang baik) tentunya harus ikhlas untuk Allah semata. Keikhlasan suatu niat sangat berpengaruh pada amalan-amalan yang kita lakukan. Jika seseorang ikhlas dalam menuntut ilmu, ia akan memahami bahwa amalan menuntut ilmu yang ia lakukan itu akan diganjar pahala. Sebagaimana dalam hadits disampaikan bahwa,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وإنما لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنكحها فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya sesesorang itu hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena harta dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yanga hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian, dengan mengikhlaskan niat tersebut seseorang akan bearada pada tingkatan yang ketiga dari umat ini, lalu dengan itu semangatnya pun akan bangkit.

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

“ Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS. An Nisa: 69)

2. Selalu bersama dengan teman-teman yang semangat dalam menuntut ilmu

Teman merupakan orang yang sangat berpengaruh pada diri kita. Teman turut membentuk karakter seseorang. Oleh karena itu dalam berteman hendaknya kita memilih teman-teman yang mampu mengantarkan kepada kebaikan. Teman-teman yang demikian dapat membantu kita dalam berdiskusi dan meneliti masalah agama. Jangan condong untuk meninggalkan kebersamaan bersama mereka selama mereka senantiasa membantu dalam menuntut ilmu.

3. Bersabar, yaitu ketika jiwa mengajak untuk berpaling dari ilmu

Kesabaran akan mengantarkan kita kembali kepada ilmu dan kebaikan-kebaikan. Oleh karena itu, hendaknya kita terus berusaha bersabar agar penyakit futur itu segera hilang. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

 “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang beribadah kepada Tuhan mereka di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini” (QS. Al Kahfi: 28).

Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu Syar’i. Menuntut ilmu Syar’i tidak bisa didapatkan dengan kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah di atas kebenaran.



Penulis: Mawas Rizki Hidayanti
Muroja’ah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah
Artikel muslimah.or.id

Referensi:
1. Yulian Purnama. www.muslim.or.id. Kiat Mengobati Futur Dan Malas Menuntut Ilmu Agama
2. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. www.almanhaj.or.id. Penuntut Ilmu Tidak Boleh Futur, Tidak Boleh Putus Asa dan Waspada Terhadap Bosan

Selasa, 18 Februari 2020

6 Renungan Dalam Menyikapi Kejadian Wabah Virus Korona (2019 nCov)

6 Renungan Dalam Menyikapi Kejadian Wabah Virus Korona (2019 nCov)

View Article

Pembicaraan tentang wabah penyakit (n2019Co) yang begitu dikhawatirkan penyebaran dan penjangkitannya telah menghiasi berbagai forum saat ini, antara forum yang sekadar obrolan berisi candaan, forum yang berisi informasi dan nasihat, atau berbagai motif yang mewarnai pembicaraan seputar wabah penyakit ini.

Sikap Muslim Saat Terjadi Musibah

Satu hal yang menjadi kewajiban setiap muslim di setiap kondisi dan waktu ketika menghadapi berbagai peristiwa dan musibah adalah memohon perlindungan kepada Allah Jalla wa ‘Alaa dan menjadikan motifasi dalam mendisuksikan, memecahkan, dan menanggulangi hal tersebut berdiri di atas ketentuan yang sejalan syari’at, prinsip agama yang baku, rasa khauf (takut) kepada Allah Ta’ala dan merasakan pengawasan-Nya.

Berikut ini saya akan menyampaikan enam renungan yang berkaitan dengan topik yang sangat menyita perhatian orang akhir-akhir ini.

Renungan Pertama

Setiap muslim berkewajiban berlindung dan bertawakkal kepada Rabb-nya, Allah Jalla wa ‘Alaa di segala kondisi. Dia yakin bahwa segala urusan berada di tangan-Nya seperti yang difirmankan Allah,

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan setiap orang yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”  [QS. At-Taghabun: 11]

Seluruh urusan berada di tangan-Nya, tunduk pada pengaturan dan pemeliharaan-Nya. Apa yang dikehendaki Allah untuk terjadi, pasti terjadi. Dan apa yang tidak dikehendaki-Nya untuk terjadi, pasti takkan terjadi. Tak ada Pelindung melainkan Allah semata,

قُلْ مَن ذَا الَّذِي يَعْصِمُكُم مِّنَ اللَّهِ إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءاً أَوْ أَرَادَ بِكُمْ رَحْمَةً وَلَا يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ اللَّهِ وَلِيّاً وَلَا نَصِيراً

“Katakanlah, ‘Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?’ Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah”. [QS. Al-Ahzab: 17]

Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku’. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” [QS. Az-Zumar: 38]

Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِن بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Faathir: 2]

Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ » ، وفي الحديث «كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ» ، وفي الحديث «إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ. قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَة

”Ketahuilah seandainya seluruh manusia berkumpul untuk memberikan suatu manfaat pada dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu memberikannya kecuali sekadar manfaat yang telah ditetapkan Allah bagimu. Demikian pula seandainya seluruh manusia berkumpul untuk menimpakan suatu mudharat, niscaya mereka tidak akan mampu menimpakannya kecuali sekadar mudharat yang telah ditetapkan Allah atas dirimu. Pena catatan telah terangkat dan lembaran-lembaran takdir telah mengering.” [HR. at-Tirmidzi]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah menuliskan takdir semua makhluk hidup, 50.000 tahun sebelum terciptanya langit dan bumi”. [HR. Muslim]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ. قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَة

”Sesungguhnya makhluk yang diciptakan Allah pertama kali adalah sebuah pena. Allah memerintahkan kepadanya, “Tulislah!” Maka ia berkata, ‘Apa yang aku tulis?’ Allah berkata, ”Tulis takdir segala sesuatu hingga tegak hari kiamat“. [HR. At-Tirmidzi]

Oleh karena itu, telah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk memasrahkan urusannya kepada Allah sembari berharap, bergantung, bersandar, bertawakkal kepada-Nya. tidak mengharapkan keamanan, kesembuhan, dan keselamatan kecuali dari Rabb-nya, Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Berbagai peristiwa, kejadian, dan musibah yang terjadi justru mempertebal keyakinannya untuk meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah.

وَمَن يَعْتَصِم بِاللّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

“Setiap orang yang berlindung kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. Al Imran: 101)

Renungan Kedua

Setiap muslim berkewajiban “menjaga” Allah, yaitu dengan menjaga ketaatan kepada-Nya, dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Hal ini diwasiatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dalam sabdanya,

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ

”Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau menjumpai pertolongan Allah ada di hadapanmu”. [HR. At-Tirmidzi]

Dengan demikian, menjaga perintah-perintah Allah dengan melaksanakan berbagai perkara yang diperintahkan berikut meninggalkan berbagai perkara yang dilarang merupakan sebab diturunkannya perlindungan, keselamatan, dan penjagaan Allah kepada hamba di dunia dan akhirat. Meskipun dia tertimpa musibah atau mengalami petaka, hal itu justru menjadi faktor yang akan mengangkat derajatnya di sisi Allah. Hal ini telah disabdakan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Seluruh urusan orang beriman itu begitu menakjubkan, karena pasti berujung pada kebaikan. Dan hal itu hanya terjadi pada diri orang beriman.Jika mengalami hal yang menyenangkan, dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan. Dan jika mengalami hal yang menyedihkan, dia bersabar dan hal itu pun merupakan kebaikan.” [HR. Muslim]

Oleh karena itu, setiap orang beriman, baik dalam kondisi senang ataupun susah, lapang ataupun sempit, senantiasa berada dalam kebaikan seperti yang disabdakan oleh Nabi kita di atas, shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Renungan Ketiga

Syari’at islam mengajarkan pemeluknya untuk mengerahkan berbagai upaya dan memotivasi mereka untuk berobat. Berobat dan mencari kesembuhan tidaklah bertentangan dengan tawakkal kepada Allah Ta’ala.

Pengobatan yang diajarkan syari’at Islam meliputi dua jenis pengobatan, yaitu pengobatan preventif yang dilakukan sebelum terjangkit penyakit dan pengobatan kuratif yang dilakukan setelah terjangkit penyakit. Kedua jenis pengobatan tersebut didukung dalam syari’at Islam. Di dalam syari’at Islam pun terkandung prinsip-prinsip pengobatan dan penyembuhan yang mampu mewujudkan keselamatan dan keamanan bagi seorang muslim di kehidupan dunia dan akhirat. Bagi mereka yang pernah membaca buku at-Thibb an-Nabawiy karya al-‘Allamah Ibnu al-Qayyim rahimahullah akan menjumpai kandungan-kandungan ilmu yang terkait dengan pengobatan dan penyembuhan yang digali dari ajaran Islam dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Di bidang pengobatan yang bersifat preventif, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اصْطَبَحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةٍ لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ

“Setiap orang yang memakan tujuh butir kurma ‘ajwah di pagi hari, niscaya tidak akan terganggu oleh racun dan sihir di hari itu”. [HR. Al-Bukhari]

Dalam hadits ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu, disampaikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَقُولُ فِى صَبَاحِ كُلِّ يَوْمٍ وَمَسَاءِ كُلِّ لَيْلَةٍ : بِسْمِ اللَّهِ الَّذِى لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَىْءٌ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ـ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ـ فَيَضُرُّهُ شَىْءٌ

”Setiap orang yang mengucapkan di setiap pagi dan setiap sore dzikir, ‘BISMILLAHILLADZI LAA YADHURRU MA’ASMIHI SYAI’UN FIL ARDHI WA LAA FISSAMAA’I WAHUWAS SAMII’UL ‘ALIM’ sebanyak tiga kali, niscaya tidak akan ada yang mampu membahayakannya.” [HR. At-Tirmidzi]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِى لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ

“Setiap orang yang membaca dua ayat terakhir surat al-Baqarah di waktu malam, niscaya akan terbebas.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Artinya ia akan terbebas dari setiap penyakit, keburukan, dan kejelekan.

Dalam hadits Abdullah bin Khubaib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

خَرَجْنَا فِى لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ وَظُلْمَةٍ شَدِيدَةٍ نَطْلُبُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّى لَنَا – قَالَ – فَأَدْرَكْتُهُ فَقَالَ « قُلْ ». فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ « قُلْ ». فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا. قَالَ « قُلْ ». قُلْتُ مَا أَقُولُ قَالَ « قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ حِينَ تُمْسِى وَتُصْبِحُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ تَكْفِيكَ مِنْ كُلِّ شَىْءٍ

”Pada suatu malam disaat hujan lebat lagi gelap gulita kami keluar rumah mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar shalat mengimami kami. Kami pun menjumpai beliau. Beliau berkata, ‘Ucapkanlah!’. Tapi aku tidak mengucapkan sesuatu.  Beliau berkata lagi, ‘Ucapkanlah!’. Tapi aku tidak mengucapkan sesuatu. Kemudian beliau berkata lagi, ‘Ucapkanlah!’ Maka aku bertanya, ‘Apa yang harus saya ucapkan?’ Maka beliau bersabda, ‘Bacalah surat QUL HUWALLOHU AHAD (al-Ikhlas), dan MUAWWIDZATAIN (al-Falaq dan an-Naas) sebanyak tiga kali di kala pagi dan petang, niscaya hal itu akan menjagamu dari segala sesuatu”. [HR. at-Tirmidzi]

Dalam hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ’anhuma, bahwasanya beliau senantiasa membaca do’a berikut di waktu pagi dan petang,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِى دِينِى وَدُنْيَاىَ وَأَهْلِى وَمَالِى ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى، وَآمِنْ رَوْعَاتِى ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِى مِنْ بَيْنِ يَدَىَّ وَمِنْ خَلْفِي وَعَنْ يَمِينِي وَعَنْ شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي

”ALLOHUMMA INNI AS’ALUKAL ‘AFIYATA FID DUNYA WAL AKHIROH,  ALLOHUMMA  AS’ALUKAL ‘AFWA WAL ‘AFIYATA FII DIINIY WA DUNYAAYA WA AHLII WA MAALII. ALLOHUMMASTUR ‘AUROOTI  WA AAMIN ROU’AATI. ALLOHUMMAHFADZNI MIN BAINIY YADAYYA WA MIN KHOLFIY WA ‘AN YAMIINIY WA ‘AN SYIMAALIY  WA MIN FAUQIY WA A‘AUUDZU BI ‘AZHOMATIKA ‘AN UGHTAALA MIN TAHTIY“.

“Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah aku memohon kepada-Mu ketenteraman dan keselamatan pada urusan agama, dunia, keluarga dan hartaku. Yaa Allah tutupi auratku, tenangkanlah aku dari rasa takutku. Yaa Allah jagalah aku dari arah depan dan belakangku, arah kanan dan kiriku, serta dari arah bawahku. Aku belindung dengan kebesaran-Mu agar aku tidak dihancurkan dari arah bawahku” [HR. Abu Daawud dan Ibnu Maajah].

Dalam do’a ini terdapat perlindungan dan penjagaan secara sempurna bagi hamba pada berbagai sisi. Adapun di bidang pengobatan yang bersifat kuratif terdapat sejumlah petunjuk dan bimbingan yang beragam dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga memerlukan penjabaran yang luas. Anda dapat membaca uraian luas akan hal ini dalam buku Zaad al Ma’aad karya Ibnul Qayyim.

Renungan Keempat

Setiap muslim berkewajiban tidak mudah hanyut mengikuti informasi bohong (baca: hoaks), karena dalam kondisi ini sebagian orang justru mempromosikan atau menyebutkan berbagai info yang tidak valid dan fiktif, sehingga timbullah kekhawatiran dan ketakutan yang tak berdasar di tengah-tengah manusia. Setiap muslim sepatutnya tidak mudah mempercayai rumor yang beredar, namun mengatasinya dengan kesempurnaan iman, yakin, dan tawakkal kepada Allah Ta’ala.

Renungan Kelima

Sesungguhnya musibah yang menimpa manusia, baik terjadi pada kesehatan, keluarga, anak, harta, perniagaan, dan selainnya, apabila dihadapi dengan sikap bersabar dan berharap pahala Allah, maka hal itu justru akan mengangkat kedudukannya di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ,  الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ .  أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” . Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”  [QS. Al Baqarah: 155-157].

Allah Ta’ala menguji para hamba-Nya agar Dia mendengarkan keluhan, permintaan, do’a, kesabaran, dan ridha mereka terhadap apa yang ditetapkan Allah. Dia melihat bagaimana sikap para hamba-Nya ketika ditimpa musibah yang menguji iman mereka, Dia pun mengetahui mana dari mereka yang jujur dalam menyikapi musibah dan niat dalam hati mereka, sehingga setiap hamba memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkan. Itulah mengapa setiap orang yang ditimpa dengan penyakit, cacat, harta yang minim, dan musibah yang lain, berkewajiban untuk mengharapkan pahala di sisi Allah ketika diuji dengan berbagai kesempitan tersebut. Dia berkewajiban menghadapinya dengan sabar dan ridha agar mampu memetik keberuntungan dengan memperoleh pahala orang-orang yang bersabar. Dan bagi setiap orang yang diberi keselamatan hendaknya memuji Allah Ta’ala agar memperoleh keberuntungan dengan memperoleh pahala orang-orang yang bersyukur.

Renungan Keenam

Sesungguhnya musibah terbesar bagi hamba adalah musibah agama. Musibah agama adalah musibah terdahsyat yang dialami hamba di dunia dan akhirat. Musibah tersebut merupakan puncak malapetaka yang nyata. Dengan demikian, apabila seorang muslim mengingat hal ini di saat mengalami musibah dunia, niscaya dia akan memuji Allah atas karena agamanya masih selamat. Al-baihaqi meriwayatkan dalam Syu’ab al-Iman dari Syuraih al-Qadhi rahimahullah bahwa beliau pernah berkata,

إني لأصاب بالمصيبة فأحمد الله عليها أربع مرات: أحمده إذ لم تكن أعظم مما هي , وأحمده إذ رزقني الصبر عليها , وأحمده إذ وفقني للاسترجاع لما أرجو فيه من الثواب , وأحمده إذ لم يجعلها في ديني

“Sesungguhnya aku memuji Allah dalam empat hal ketika diriku ditimpa musibah. Pertama, aku memuji-Nya karena musibah ini tidak lebih besar dari apa yang menimpa. Kedua, aku memuji-Nya karena menganugerahkan kesabaran padaku dalam menghadapinya. Ketiga, aku memuji-Nya karena membimbingku untuk mengucapkan istirja’ (ucapan innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun) demi mengharapkan pahala. Keempat, aku memuji-Nya karena tidak menjadikan musibah itu terjadi pada agamaku.”

Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar memelihara kita semua dengan penjagaan-Nya dan menganugerahkan keselamatan agama, dunia, keluarga, dan harta kepada kita. Sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar, Maha Dekat, dan Maha Mengabulkan.



Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel: Muslim.or.id

Senin, 10 Februari 2020

Hadiah Coklat di Hari Valentine

Hadiah Coklat di Hari Valentine

View Article

Kenapa yang dihadiahi biasanya adalah coklat di hari valentine? Bolehkah memberi hadiah tersebut pada rekan, teman atau kekasih di hari tersebut? Bagaimana jika kita diberi coklat, apakah boleh kita terima?

Ini Alasannya Kenapa Perayaan Valentine Identik dengan Coklat

Ternyata, coklat mengandung phenylethylamine yang berfungsi membantu penyerapan dalam otak dan menghasilkan dopamine yang akan menyebabkan perasaan gembira, meningkatkan rasa tertarik dan dapat menimbulkan perasaan jatuh cinta. Tidak heranlah coklat menjadi pilihan hadiah tanda cinta. Disebabkan oleh teksturnya yang lembut dan mudah larut secara perlahan memberikan kesan sensual bagi orang yang menikmatinya. Selain itu,coklat dapat memberikan kesan nyaman, rileks dan dapat meningkatkan gairah seksual.

Berarti ada tujuan tidak baik di balik coklat, apalagi jika dilihat pasangan yang diberi masih belum halal karena belum ada akad nikah? Lihat saja, meningkatkan gairah seksual. Apa maksudnya? Apa ingin menghalalkan zina dengan hadiah coklat tersebut? Wallahul musta’an.

Masalah Merayakan Valentine

Intinya, merayakan valentina atau hari kasih sayang, ada beberapa sisi kerusakan:

1- Merayakan perayaan non muslim

Jelas banget, hari valentine bukanlah perayaan muslim. Perayaan atau hari besar kaum muslimin hanyalah dua, tidak ada yang lainnya. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Kita pun dilarang tasyabbuh dengan non muslim, yaitu dilarang meniru non muslim dalam perayaan mereka. Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah? Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ

“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).

Imam Adz Dzahabi juga berkata,

فإذا كان للنصارى عيد ، ولليهود عيد ، كانوا مختصين به ، فلا يشركهم فيه مسلم ، كما لا يشاركهم في شرعتهم ولا قبلتهم

“Orang Nashrani punya perayaan, demikian pula orang Yahudi, di mana mereka mengistimewakan hari tersebut. Maka janganlah seorang muslim meniru mereka dalam perayaan tersebut. Sebagaimana kita dilarang meniru syari’at dan tidak mengikuti kiblat mereka.” (Tasyabbuh Al Khosis bi Ahlil Khomis, tersebut dalam Majalah Al Hikmah 4: 193)

Jelas sekali, merayakan valentine termasuk dalam meniru orang kafir. Karena perayaan tersebut sama sekali bukanlah perayaan muslim, namun diimpor dari barat. Sejarah valentine bermula dari:

– Valentine’s Day berasal dari upacara keagamaan Romawi Kuno yang penuh dengan paganisme dan kesyirikan.
– Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya dirubah menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Jadi acara valentine menjadi ritual agama Nashrani yang dirubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya St. Valentine.
– Hari valentine juga adalah hari penghormatan kepada tokoh nashrani yang dianggap sebagai pejuang dan pembela cinta.
– Pada perkembangannya di zaman modern saat ini, perayaan valentine disamarkan dengan dihiasi nama “hari kasih sayang”.

Jadi pemuda yang merayakannya saat ini hanyalah latah mengikuti budaya barat.

2- Cinta kasih yang tidak halal

Yang ada di hari kasih sayang atau valentine day adalah cinta kasih yang tidak halal. Karena yang merayakannya adalah muda-mudi dengan saling memberi hadiah, kencan berdua, bergandengan tangan, bahkan mejeng di kegelapan demi menyatakan cinta di hari tersebut. Ini tentu saja cinta kasih yang tidak halal. Cinta kasih yang halal dalam Islam hanyalah dinyatakan lewat nikah. Cinta kasih bukan dinyatakan lewat pesan singkat, telepon, jalan berdua, berdua-duaan, kencan dinner, dinyatakan dengan pemberian coklat, bahkan ada yang membuktikannya dengan zina. Cinta sejati dibuktikan dengan menikah karena itulah yang halal bahkan berpahala di sisi Allah.

Inilah manfaat nikah. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نِصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)

Al Ghozali rahimahullah (sebagaimana dinukil dalam kitab Mirqotul Mafatih) berkata, “Umumnya yang merusak agama seseorang ada dua hal yaitu kemaluan dan perutnya. Menikah berarti telah menjaga diri dari salah satunya. Dengan nikah berarti seseorang membentengi diri dari godaan syaithon, membentengi diri dari syahwat (yang menggejolak) dan lebih menundukkan pandangan.”

Jadi dengan menikah berarti menjaga agama. Sebaliknya, menyalurkan cinta lewat pacaran malah merusak agama seseorang.

3- Berzina atau melakukan hal-hal yang merupakan perantara menuju zina

Inilah yang nyata saat merayakan valentine, setiap pasangan akan menyatakan cinta pada yang lain. Bahkan ada yang membuktikan dengan cara yang parah sampai berzina. Padahal mendekati zina saja tidak boleh apalagi sampai berzina,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’: 32). Kata Al Qurthubi, ayat ini sangat bagus dan lebih menunjukkan larangan daripada perkataan “Janganlah melakukan zina”. Maksudnya, larangan tersebut untuk mendekati, tentu saja jika sampai terjerumus, jelas terlarangnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Rabb yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (QS. Al Furqon: 68). Artinya, orang yang melakukan salah satu dosa yang disebutkan dalam ayat ini akan mendapatkan siksa dari perbuatan dosa yang ia lakukan.

4- Menghambur-hamburkan uang

Memberi coklat dan hadiah pada pasangan pada hari valentine juga termasuk tabdzir atau menghambur-hamburkan uang. Karena yang disebut tabdzir adalah menyalurkan harta pada suatu yang haram dan sia-sia.

Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 68).

Menghambur-hamburkan harta dalam hal yang sia-sia ini termasuk temannya setan sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).

Bolehkah Menerima Coklat yang Diberi di Hari Valentine?

Sama halnya dengan acara perayaan yang tidak ada tuntunan lainnya -seperti ulang tahun-, maka menerima hadiah dari coklat di hari valentine mesti menimbang maslahat dan mudhorot.

Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah berkata mengenai hukum menerima kado ulang tahun, “Menerima hadiah dari acara yang tidak ada tuntunan tidak dibolehkan karena hal itu termasuk menyokong acara tersebut tetap laris manis. Maka hendaklah menolak hadiah tersebut dengan cara yang halus. Namun jika khawatir merusak hubungan dengan rekan kita, maka jelaskan padanya bahwa kita menerima hadiah karena itu hadiah saja bukan maksud mendukung acara yang tidak ada tuntunan tersebut. Dengan menambahkan keterangan bahwa kita tidak lagi akan menerima kado seperti itu di masa akan datang. Juga tidak perlu membalas memberikan hadiah di hari ulang tahunnya.” (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 146449). Menerima hadiah di hari valentine seperti itu pula, timbang-timbanglah maslahat dan bahayanya.

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.




Disusun di waktu Dhuha di Pesantren Darush Sholihin, 11 Rabi’uts Tsani 1435 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id