Tampilkan postingan dengan label Akhlak dan Nasehat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akhlak dan Nasehat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 Oktober 2020

Orang yang Diinginkan Kebaikan Oleh Allah

Orang yang Diinginkan Kebaikan Oleh Allah

View Article


Di antara manusia ada orang-orang yang Allah inginkan kebaikan padanya. Kita berharap mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diinginkan oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan tersebut. Tentunya kita tidak ingin kita termasuk orang yang Allah kehendaki keburukan ada pada diri kita. Lalu siapakah orang-orang yang Allah inginkan kebaikan bagi mereka? Berikut ciri-cirinya:


1. Dijadikan ia senantiasa beramal sholih sebelum kematian menjelang


Disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan lainnya [Dishahihkan oleh Syaikh Al-AlBani dalam shahih Jami’ no 304.], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إذا أراد الله بعبد خيرا استعمله قيل : ما يستعمله ؟ قال : يفتح له عملا صالحا بين يدي موته حتى يرضي عليه من حوله


“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allah jadikan ia beramal.” Lalu para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dijadikan dia beramal?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dibukakan untuknya amalan shalih sebelum meninggalnya sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya ridha kepadanya.”


2. Dipercepat sanksinya di dunia


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إذا أراد الله بعبده الخير عجل له العقوبة في الدنيا و إذا أراد بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافي به يوم القيامة


“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hamba-Nya, Allah akan segerakan sanksi untuknya di dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan kepada hamba-Nya, Allah akan menahan adzab baginya akibat dosanya (di dunia), sampai Allah membalasnya (dengan sempurna) pada hari Kiamat.” (HR. At-Tirmidzi dan Al Hakim dari Anas bin Malik) [Dishahihkan oleh Syaikh Al- AlBani dalam shahih Jami’ no 308.]


Namun kita tidak diperkenankan untuk meminta kepada Allah agar dipercepat sanksi kita di dunia, karena kita belum tentu mampu menghadapinya.


3. Diberikan cobaan


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


من يرد الله به خيرا يصب منه


“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan, Allah akan memberinya musibah.” (HR. Al-Bukhari).


Cobaan pasti akan menerpa kehidupan mukmin, karena itu merupakan janji Allah. Allah berfirman,


وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ


“Sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikan kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar” (QS. Al Baqarah: 155).


Bersabarlah ketika kita mendapatkan cobaan, karena cobaan itu untuk menggugurkan dosa atau mengangkat derajat.


Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ أَوْ الْمُؤْمِنَةِ فِي جَسَدِهِ وَفِي مَالِهِ وَفِي وَلَدِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ


“Senantiasa ujian itu menerpa mukmin atau mukminah pada jasadnya, harta dan anaknya sampai ia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani).


4. Dijadikan faham terhadap agama Islam


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين


“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam masalah agama (ini).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).


Kefaqihan adalah pemahaman yang Allah berikan kepada seorang hamba. Pemahaman yang lurus tentang Al-Qur’an dan hadits didasari dengan kebeningan hati dan aqidah yang shahih. Karena hati yang dipenuhi oleh hawa nafsu tidak akan dapat memahami Al-Qur’an dan hadits dengan benar.


5. Diberikan kesabaran


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


و ما أعطي أحد عطاء خيرا و أوسع من الصبر


“Tidaklah seseorang diberikan sesuatu yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).


Kesabaran dalam keimanan bagaikan kepala untuk badan. Badan tak akan hidup tanpa kepala, demikian pula iman tak akan hidup tanpa kesabaran. Untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya amat dibutuhkan kesabaran. Karena iblis dan balatentaranya tak pernah diam dari menyesatkan manusia dari jalan Allah. Allah berfirman,


وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ


“Tidaklah diberikan (sifat-sifat yang terpuji ini) kecuali orang-orang yang sabar, dan tidaklah diberikannya kecuali orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushshilat: 35).


Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang Engkau inginkan kebaikan, beri kami kesabaran untuk menjalankan perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu, beri kami kesabaran dalam menghadapi musibah yang menerpa, beri kami kefaqihan dalam agama dan bukakan untuk kami pintu amal shalih sebelum wafat kami.


Sumber Referensi :

- Rekaman ceramah berjudul  “Orang yang Diinginkan Kebaikan Oleh Allah”, oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam,Lc

- Artikel berjudul “Mereka yang Diinginkan Kebaikan Oleh Allah.” Sumber: Cintasunnah.com


Penulis: Dwi Pertiwi

Murojaah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Artikel muslimah.or.id

Rabu, 15 Juli 2020

Agar Olah Raga Bersepeda Berpahala

Agar Olah Raga Bersepeda Berpahala

View Article

Alhamdulillah olahraga sepeda mulai digemari di zaman ini. Olahraga bersepeda olahraga yang bagus dan cukup aman karena tidak terlalu memberatkan sendi. Olahraga ini cocok untuk berbagai usia termasuk orang tua sekalipun.

Di zaman ini, kita sangat perlu melakukan olahraga secara rutin, karena di zaman ini kita dimanjakan dengan berbagai macam sarana dan fasilitas yang menyebabkan tubuh kita kurang bergerak atau bahkan malas bergerak. Agama Islam pun mengajarkan agar kita selalu sehat dan kuat. Salah satu cara yang paling baik menjaga kesehatan dan stamina adalah dengan berolahraga rutin.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah.” [HR. Muslim]

Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan

أن المؤمن القوي في إيمانه ، والقوي في بدنه وعمله : خيرٌ من المؤمن الضعيف في إيمانه أو الضعيف في بدنه وعمله ؛ لأن المؤمن القوي يُنتج ويَعمل للمسلمين وينتفع المسلمون بقوته البدنية وبقوته الإيمانية وبقوته العملية

“(Yaitu) Seorang mukmin yang kuat iman dan kuat badan serta amalnya, ini lebih baik daripada seorang mukmin yang lemah imannya dan lemah badan serta amalnya, karena mukmin yang kuat akan produktif dan memberikan manfaat bagi kaum muslimin dengan kekuatan badan, iman dan amalnya.” [Al-Muntaqa 5/380]

Bagi yang hendak melakukan olahraga bersepeda hendaknya kita memperhatikan beberapa poin berikut:

Pertama: kita niatkan olahraga agar badan sehat dan mudah melakukan berbagai macam ibadah dan kebaikan yang bermanfaat bagi manusia. Olahraga ini hukumnya mubah, akan tetapi suatu hal yang mubah dan merupakan wasilah ibadah akan menjadi senilai dengan ibadah tersebut sesuai niatnya. Sebagaimana kaedah

الوسائل لها أحكام المقاصد

“Wasilah/sarana sesuai dengan hukum tujuannya”

Wasilah atau sarana itu sesuai dengan tujuan dari niatnya, apabila wasilah atau hal-hal yang mubah kita niatkan untuk kebaikan maka ia juga akan bernilai kebaikan. Hendaknya kita luruskan niat olahraga sepeda bukan hanya sekedar ikut-ikutan, adu gengsi, adu bagus-bagusan dan adu mahal-mahalan sepeda

Kedua: Hindari berlebihan dalam membeli sepeda dan aksesorisnya. Tidak harus sepeda yang mahal atau sepeda sport. Jika memang mampu, maka Alhamdulillah,  tetapi apabila tidak mampu jangan dipaksakan dan jangan sampai terkesan boros. Cukup dengan sepeda biasa saja, yang penting tetap bisa bersepeda dengan baik.  Jangan sampai seperti ada oknum yang dia kucing-kucingan atau sembunyi-sembunyi dari istrinya membeli sepeda mahal dan berbagai aksesoris mahal, sedangkan untuk membelikan sekedar perhiasan murah  bagi istrinya atau  dia sangat pelit

Ketiga: olahraga hukumnya mubah. Hendaknya jangan sampai hal yang mudah ini melalaikan kita dari tugas yang utama semisal ibadah yang wajib. Hindari bersepeda sampai berlebihan karena salah satu tanda Allah berpaling dan tidak peduli dengan hambaNya adalah dengan menyibukkan hamba tersebut dengan hal-hal yang mubah dan tidak bermanfaat. Misalnya berlebihan bersepeda itu meninggalkan istri dan anak di akhir pekan pada waktu liburan, ia pergi bersepeda seharian penuh. Padahal di akhir pekan itu ada hak istri dan anak-anak untuk bermain-main serta berekreasi dengan ayahnya, karena umumnya para ayah di hari kerja bekerja seharian

Keempat: Hindari adu gengsi dengan bersepeda terlalu jauh jaraknya, Menempuh jarak sampai puluhan bahkan ratusan kilometer, lalu pamer di grup, screenshot dan menyebarkan di berbagai macam sosmed. Tidak  jarang kita dengar berita ada orang yang kecelakaan dan kecapekan dalam bersepeda

Kelima: Hindari  bersepeda dengan rasa sombong dan mendominasi di jalan raya dengan menutup jalan bagi kendaraan lainnya.  Terkadang sepeda yang mahal dan  aksesoris yang mahal, kita merasa sombong seolah-olah kita menguasai jalan tersebut dan menyebabkan kendaraan yang lain susah berjalan

Keenam: Apabila kita tidak bisa bersepeda keluar karena istri tidak setuju, mungkin karena istri ditinggal terus,  kita bisa bersepeda indoor yaitu bersepeda di rumah. Sepeda di rumah juga masih bisa meraih manfaat lainnya, misalnya bersepeda  sambil mendengarkan kajian menonton kajian atau menonton hal-hal yang bermanfaat selama 30 menit selama 1 jam atau bersepeda sambil mengobrol ringan dengan keluarga

Kami yakin poin-poin diatas hanya segelintir oknum saja yang melakukannya. Kita tetap optimis Indonesia sehat dengan bersepeda demikian semoga bermanfaat. Mari tetap semangat olahraga dan berdoa agar dijauhkan dari sifat malas.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian).” [ HR. Bukhari no. 6367 dan Muslim no. 2706]



@ Lombok, Pulau Seribu Masjid
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id

Senin, 30 Maret 2020

Wabah Makin Menyebar Karena Salah Jalan dalam Beragama

Wabah Makin Menyebar Karena Salah Jalan dalam Beragama

View Article

Coba baca dulu kisah ini disebutkan kejadian nyata yang terjadi di masa Ibnu Hajar Al-Asqalani dan pada masa sebelum beliau, sama-sama dulu pernah terjadi wabah. Namun salah dalam penyikapan karena berbuat hal yang tidak diizinkan dalam agama.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menceritakan dalam Badzlu Al-Maa’uun fii Fadhli Ath-Thaa’uun (hlm. 329), “Aku coba ceritakan, telah terjadi di masa kami ketika terjadi wabah ath-tha’un di Kairo pada 27 Rabiul Akhir 833 Hijriyah. Awalnya baru jatuh korban meninggal di bawah empat puluh. Kemudian orang-orang pada keluar menuju tanah lapang pada 4 Jumadal Ula, setelah sebelumnya orang-orang diajak untuk berpuasa tiga hari sebagaimana dilakukan untuk shalat istisqa’ (shalat minta hujan). Mereka semua berkumpul, mereka berdoa, kemudian mereka berdiri, dalam durasi satu jam lalu mereka pulang. Setelah acara itu selesai, berubahlah korban yang meninggal dunia menjadi 1.000 orang di Kairo setiap hari. Kemudian jumlah yang jatuh korban pun terus bertambah.”

Di halaman sebelumnya, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “Adapun kumpul-kumpul (untuk mengatasi wabah) sebagaimana dilakukan, maka seperti itu termasuk bidah. Hal ini pernah terjadi saat wabah ath-tha’un yang begitu dahsyat pada tahun 749 Hijriyah di Damaskus. Aku membacanya dalam Juz Al-Munbijy setelah ia mengingkari pada orang yang mengumpulkan khalayak ramai di suatu tempat. Di situ mereka berdoa, mereka berteriak keras. Ini terjadi pada tahun 764 H, ketika itu juga tersebar wabah ath-tha’un di Damaskus. Ada yang menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada tahun 749 H, di mana orang-orang keluar ke tanah lapang, masa jumlah banyak ketika itu keluar di negeri tersebut, lantas mereka beristighatsah (minta dihilangkan bala). Ternyata setelah itu wabah tadi makin menyebar dan makin jatuh banyak korban, padahal sebelumnya korban tidak begitu banyak.”

Pelajaran penting:
- segala sesuatu berdasarkan ilmu, bukan berdasarkan semangat.
- kadang maslahat kemanusiaan lebih didahulukan dari maslahat keagamaan.
- harusnya yang ditimbang-timbang dalam ibadah adalah kaidah:

دَرْأُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ

“Menolak bahaya lebih didahulukan daripada meraih maslahat.”

Renungkanlah!

Maka silakan Anda timbang-timbang yang sama-sama terjadi di negeri lain bahkan di negeri kita sendiri ada yang karena kebodohan dan salah strategi. Ada juga amalan khurafat yang diamalkan masyarakat.

1. Di Malaysia, jumlah korban terinfeksi corona bertambah drastis dalam sehari gegara ulah jamaah yang mengundang ribuan orang dari berbagai negara untuk berkumpul. Jamaah ini juga nyaris membuat hal yang sama dengan mengadakan ijtimak dunia di Gowa, Sulawesi Selatan.
2. Di Iran, virus corona makin menyebar karena pengkultusan kaum syiah dengan mencium kuburan orang-orang saleh mereka.
3. Di Korea Selatan, virus corona makin menyebar karena ada satu pasien positif corona yang tidak mengindahkan keadaannya lalu menyebarkan virus pada saat misa gereja.
4. Ada lagi seorang tokoh panutan menyarankan makan bawang ditambah shalawat 1616 kali untuk mencegah wabah.
5. Ada juga yang meyakini dengan memajang foto seorang tokoh, wabah akan sulit masuk dalam rumah.
6. Ada lagi ritual tolak bala dengan mengumpulkan masa dalam jumlah besar di beberapa daerah di negeri kita.

Maka cerdaslah dalam beragama dalam menyikapi wabah.

Lebih jelasnya tentang kisah pada masa Ibnu Hajar, silakan kaji lebih jauh dari buku:
20 Doa dan Dzikir Saat Wabah Melanda

Baca Juga: Khurafat Saat Wabah Corona: Buat Sayur Lodeh Tujuh Macam



#DarushSholihin, Kamis siang, 1 Syakban 1441 H, 26 Maret 2020
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumasyho

Selasa, 17 Maret 2020

Mati Karena Virus Corona, Apakah Mati Syahid?

Mati Karena Virus Corona, Apakah Mati Syahid?

View Article

Apakah mati karena virus corona tergolong mati syahid? Pertama kali akan dikaji lebih dahulu, apakah virus corona masuk kategori ath-tha’un (wabah yang mematikan) ataukah tidak? Baru nanti akan dibahas apakah dapat dikatakan mati syahid jika ada yang mati karena corona? Lalu syarat disebut syahid apakah sama dengan syahid di medan perang?

Apakah virus corona termasuk ath-tha’un ataukah al-waba’?

Para ulama berbeda pendapat tentang pengeritan ath-tha’un dan al-waba’. Ada yang menganggap keduanya itu sama dan ada yang membedakan keduanya.

Menurut pakar bahasa arab dan pakar kesehatan, al-waba’ (wabah) adalah penyakit yang menular pada suatu wilayah, bisa penyebarannya cepat dan meluas. Sedangkan ath-tha’un adalah wabah yang menyebar lebih luas dan menimbulkan kematian. Inilah pengertian ath-tha’un menurut pakar bahasa dan ulama fikih.

Para ulama menganggap bahwa virus corona masuk dalam kategori ath-tha’un. Ulama saat ini yang berpendapat demikian adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh (mufti ‘aam kerajaan Saudi Arabia), Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr (ulama besar di kota Madinah), juga Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily (ulama besar di kota Madinah).

Apalagi kalau kita melihat pandangan WHO bahwa virus corona sudah masuk pandemik, lebih jelas lagi kita menyebutnya sebagai ath-tha’un.

Jika termasuk ath-tha’un, muslim yang mati karena virus corona tergolong syahid.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Orang yang mati syahid ada lima, yakni orang yang mati karena ath-tha’un (wabah), orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari, no. 2829 dan Muslim, no. 1914)

Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْقَتِيلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ وَالْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Orang yang terbunuh di jalan Allah (fii sabilillah) adalah syahid; orang yang mati karena ath-tha’un (wabah) adalah syahid; orang yang mati karena penyakit perut adalah syahid; dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid.” (HR. Ahmad, 2: 522. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan ‘Adil Mursyid menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).

Dari Jabir bin ‘Atik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِى يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ

“Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ‘azza wa jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban ath-tha’un (wabah) adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan (dalam keadaan nifas atau dalam keadaan bayi masih dalam perutnya, pen.) adalah syahid.” (HR. Abu Daud, no. 3111. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat keterangan ‘Aun Al-Ma’bud, 8: 275)

Di antara maksud syahid sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Ambari,

لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى وَمَلَائِكَته عَلَيْهِمْ السَّلَام يَشْهَدُونَ لَهُ بِالْجَنَّةِ . فَمَعْنَى شَهِيد مَشْهُود لَهُ

“Karena Allah Ta’ala dan malaikatnya ‘alaihimus salam menyaksikan orang tersebut dengan surga. Makna syahid di sini adalah disaksikan untuknya.” (Syarh Shahih Muslim, 2:142, juga disebutkan dalam Fath Al-Bari, 6:42).

Ibnu Hajar menyebutkan pendapat lain, yang dimaksud dengan syahid adalah malaikat menyaksikan bahwa mereka mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir hidup yang baik). (Lihat Fath Al-Bari, 6:43)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa syahid itu ada tiga macam:

1. Syahid yang mati ketika berperang melawan kafir harbi (yang berhak untuk diperangi). Orang ini dihukumi syahid di dunia dan mendapat pahala di akhirat. Syahid seperti ini tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.

2. Syahid dalam hal pahala namun tidak disikapi dengan hukum syahid di dunia. Contoh syahid jenis ini ialah mati karena melahirkan, mati karena wabah penyakit, mati karena reruntuhan, dan mati karena membela hartanya dari rampasan, begitu pula penyebutan syahid lainnya yang disebutkan dalam hadits shahih. Mereka tetap dimandikan, dishalatkan, namun di akhirat mendapatkan pahala syahid. Namun pahalanya tidak harus seperti syahid jenis pertama.

3. Orang yang khianat dalam harta ghanimah (harta rampasan perang), dalam dalil pun menafikan syahid pada dirinya ketika berperang melawan orang kafir. Namun hukumnya di dunia tetap dihukumi sebagai syahid, yaitu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Sedangkan di akhirat, ia tidak mendapatkan pahala syahid yang sempurna. Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim, 2: 142-143).

Dari pembagian Imam Nawawi rahimahullah di atas, jika ada yang mati karena virus corona, makai a masuk dalam golongan syahid yang kedua.

Syarat syahid adalah bersabar dan berharap pahala dari Allah

Dari Yahya bin Ya’mar, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan kepadanya bahwa ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ath-tha’un (wabah yang menyebar dan mematikan), maka beliau menjawab,

كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ ، مَا مِنْ عَبْدٍ يَكُونُ فِى بَلَدٍ يَكُونُ فِيهِ ، وَيَمْكُثُ فِيهِ ، لاَ يَخْرُجُ مِنَ الْبَلَدِ ، صَابِرًا مُحْتَسِبًا ، يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ

“Itu adalah adzab yang Allah turunkan pada siapa saja yang Allah kehendaki. Namun Allah menjadikannya sebagai rahmat kepada orang beriman. Tidaklah seorang hamba ada di suatu negeri yang terjangkit wabah di dalamnya, lantas ia tetap di dalamnya, ia tidak keluar dari negeri tersebut lalu bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, ia tahu bahwa tidaklah wabah itu terkena melainkan dengan takdir Allah, maka ia akan mendapatkan pahala syahid.” (HR. Bukhari, no. 6619)

Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dimaksud sebagai adzab adalah untuk orang kafir dan ahli maksiat. Sedangkan wabah itu jadi rahmat untuk orang beriman. Lihat Fath Al-Bari, 10:192.



Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho

Dikembangkan dari:
Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah Al-Muta’alliqah bi Al-Waba’ wa Ath-Tha’uun (Ma’a Dirosah Fiqhiyyah li Al-Ahkam Al-Muta’alliqah bi Virus Corona). Abu ‘Abdil ‘Aziz Haitam bin Qasim Al-Hamri. Terbitan 1441 H, 2020.

Senin, 09 Maret 2020

Penyakit itu Bernama Futur!

Penyakit itu Bernama Futur!

View Article

Adakalanya seorang penuntut ilmu, atau ahli ibadah merasa futur. Ketika mata sebenarnya menatap tempat sujud, tapi hati berada di tempat yang lainnya. Ketika raga berada di majelis ilmu, namun jiwa dan pikiran fokus kepada hal lainnya.

Apa itu Penyakit Futur?

Futur yaitu: rasa malas, enggan, dan lamban dalam melakukan kebaikan, yang mana sebelumnya seseorang rajin dan bersemangat melakukannya. Futur adalah penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan suatu aktivitas kebaikan.

Di antara sebab-sebab munculnya penyakit futur adalah sebagai berikut :

1). Hilangnya keikhlasan.
2). Lemahnya ilmu Syar’i.
3). Kecintaan hati yang besar kepada dunia dan banyak melupakan akhirat.
4). Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.
5). Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
6). Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dalam meraih kebaikan.
7). Melakukan dosa serta memakan makanan yang haram.
8). Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).
9). Lemahnya iman.
10). Menyendiri, dan tidak mau bergabung dengan saudara seiman yang lainnya, saling tolong menolong dalam kebaikan.
11). Lemahnya pendidikan (tarbiyyah) imaniyyah.

Kiat Mengobati Penyakit Futur

Allah mentakdirkan adanya penyakit futur, tentulah Allah memberikan obatnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya, “Banyak penuntut ilmu agama yang lemah tekadnya dan futur dalam menuntut ilmu. Sarana apa saja yang dapat membangkitkan tekad dan semangat dalam menuntut ilmu?“. Beliau menjawab: “Dha’ful himmah (tekad yang lemah) dalam menuntut ilmu agama (Islam) adalah salah satu musibah yang besar. Untuk mengatasi ini ada beberapa hal:

1. Mengikhlaskan niat hanya untuk Allah ‘Azza Wa Jalla dalam menuntut ilmu

Niat dalam melakukan suatu perbuatan (yang baik) tentunya harus ikhlas untuk Allah semata. Keikhlasan suatu niat sangat berpengaruh pada amalan-amalan yang kita lakukan. Jika seseorang ikhlas dalam menuntut ilmu, ia akan memahami bahwa amalan menuntut ilmu yang ia lakukan itu akan diganjar pahala. Sebagaimana dalam hadits disampaikan bahwa,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وإنما لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنكحها فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya sesesorang itu hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena harta dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yanga hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian, dengan mengikhlaskan niat tersebut seseorang akan bearada pada tingkatan yang ketiga dari umat ini, lalu dengan itu semangatnya pun akan bangkit.

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

“ Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS. An Nisa: 69)

2. Selalu bersama dengan teman-teman yang semangat dalam menuntut ilmu

Teman merupakan orang yang sangat berpengaruh pada diri kita. Teman turut membentuk karakter seseorang. Oleh karena itu dalam berteman hendaknya kita memilih teman-teman yang mampu mengantarkan kepada kebaikan. Teman-teman yang demikian dapat membantu kita dalam berdiskusi dan meneliti masalah agama. Jangan condong untuk meninggalkan kebersamaan bersama mereka selama mereka senantiasa membantu dalam menuntut ilmu.

3. Bersabar, yaitu ketika jiwa mengajak untuk berpaling dari ilmu

Kesabaran akan mengantarkan kita kembali kepada ilmu dan kebaikan-kebaikan. Oleh karena itu, hendaknya kita terus berusaha bersabar agar penyakit futur itu segera hilang. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

 “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang beribadah kepada Tuhan mereka di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini” (QS. Al Kahfi: 28).

Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu Syar’i. Menuntut ilmu Syar’i tidak bisa didapatkan dengan kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah di atas kebenaran.



Penulis: Mawas Rizki Hidayanti
Muroja’ah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah
Artikel muslimah.or.id

Referensi:
1. Yulian Purnama. www.muslim.or.id. Kiat Mengobati Futur Dan Malas Menuntut Ilmu Agama
2. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. www.almanhaj.or.id. Penuntut Ilmu Tidak Boleh Futur, Tidak Boleh Putus Asa dan Waspada Terhadap Bosan

Selasa, 18 Februari 2020

6 Renungan Dalam Menyikapi Kejadian Wabah Virus Korona (2019 nCov)

6 Renungan Dalam Menyikapi Kejadian Wabah Virus Korona (2019 nCov)

View Article

Pembicaraan tentang wabah penyakit (n2019Co) yang begitu dikhawatirkan penyebaran dan penjangkitannya telah menghiasi berbagai forum saat ini, antara forum yang sekadar obrolan berisi candaan, forum yang berisi informasi dan nasihat, atau berbagai motif yang mewarnai pembicaraan seputar wabah penyakit ini.

Sikap Muslim Saat Terjadi Musibah

Satu hal yang menjadi kewajiban setiap muslim di setiap kondisi dan waktu ketika menghadapi berbagai peristiwa dan musibah adalah memohon perlindungan kepada Allah Jalla wa ‘Alaa dan menjadikan motifasi dalam mendisuksikan, memecahkan, dan menanggulangi hal tersebut berdiri di atas ketentuan yang sejalan syari’at, prinsip agama yang baku, rasa khauf (takut) kepada Allah Ta’ala dan merasakan pengawasan-Nya.

Berikut ini saya akan menyampaikan enam renungan yang berkaitan dengan topik yang sangat menyita perhatian orang akhir-akhir ini.

Renungan Pertama

Setiap muslim berkewajiban berlindung dan bertawakkal kepada Rabb-nya, Allah Jalla wa ‘Alaa di segala kondisi. Dia yakin bahwa segala urusan berada di tangan-Nya seperti yang difirmankan Allah,

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan setiap orang yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”  [QS. At-Taghabun: 11]

Seluruh urusan berada di tangan-Nya, tunduk pada pengaturan dan pemeliharaan-Nya. Apa yang dikehendaki Allah untuk terjadi, pasti terjadi. Dan apa yang tidak dikehendaki-Nya untuk terjadi, pasti takkan terjadi. Tak ada Pelindung melainkan Allah semata,

قُلْ مَن ذَا الَّذِي يَعْصِمُكُم مِّنَ اللَّهِ إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءاً أَوْ أَرَادَ بِكُمْ رَحْمَةً وَلَا يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ اللَّهِ وَلِيّاً وَلَا نَصِيراً

“Katakanlah, ‘Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?’ Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah”. [QS. Al-Ahzab: 17]

Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku’. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” [QS. Az-Zumar: 38]

Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِن بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Faathir: 2]

Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ » ، وفي الحديث «كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ» ، وفي الحديث «إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ. قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَة

”Ketahuilah seandainya seluruh manusia berkumpul untuk memberikan suatu manfaat pada dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu memberikannya kecuali sekadar manfaat yang telah ditetapkan Allah bagimu. Demikian pula seandainya seluruh manusia berkumpul untuk menimpakan suatu mudharat, niscaya mereka tidak akan mampu menimpakannya kecuali sekadar mudharat yang telah ditetapkan Allah atas dirimu. Pena catatan telah terangkat dan lembaran-lembaran takdir telah mengering.” [HR. at-Tirmidzi]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah menuliskan takdir semua makhluk hidup, 50.000 tahun sebelum terciptanya langit dan bumi”. [HR. Muslim]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ. قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَة

”Sesungguhnya makhluk yang diciptakan Allah pertama kali adalah sebuah pena. Allah memerintahkan kepadanya, “Tulislah!” Maka ia berkata, ‘Apa yang aku tulis?’ Allah berkata, ”Tulis takdir segala sesuatu hingga tegak hari kiamat“. [HR. At-Tirmidzi]

Oleh karena itu, telah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk memasrahkan urusannya kepada Allah sembari berharap, bergantung, bersandar, bertawakkal kepada-Nya. tidak mengharapkan keamanan, kesembuhan, dan keselamatan kecuali dari Rabb-nya, Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Berbagai peristiwa, kejadian, dan musibah yang terjadi justru mempertebal keyakinannya untuk meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah.

وَمَن يَعْتَصِم بِاللّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

“Setiap orang yang berlindung kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. Al Imran: 101)

Renungan Kedua

Setiap muslim berkewajiban “menjaga” Allah, yaitu dengan menjaga ketaatan kepada-Nya, dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Hal ini diwasiatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dalam sabdanya,

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ

”Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau menjumpai pertolongan Allah ada di hadapanmu”. [HR. At-Tirmidzi]

Dengan demikian, menjaga perintah-perintah Allah dengan melaksanakan berbagai perkara yang diperintahkan berikut meninggalkan berbagai perkara yang dilarang merupakan sebab diturunkannya perlindungan, keselamatan, dan penjagaan Allah kepada hamba di dunia dan akhirat. Meskipun dia tertimpa musibah atau mengalami petaka, hal itu justru menjadi faktor yang akan mengangkat derajatnya di sisi Allah. Hal ini telah disabdakan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Seluruh urusan orang beriman itu begitu menakjubkan, karena pasti berujung pada kebaikan. Dan hal itu hanya terjadi pada diri orang beriman.Jika mengalami hal yang menyenangkan, dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan. Dan jika mengalami hal yang menyedihkan, dia bersabar dan hal itu pun merupakan kebaikan.” [HR. Muslim]

Oleh karena itu, setiap orang beriman, baik dalam kondisi senang ataupun susah, lapang ataupun sempit, senantiasa berada dalam kebaikan seperti yang disabdakan oleh Nabi kita di atas, shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Renungan Ketiga

Syari’at islam mengajarkan pemeluknya untuk mengerahkan berbagai upaya dan memotivasi mereka untuk berobat. Berobat dan mencari kesembuhan tidaklah bertentangan dengan tawakkal kepada Allah Ta’ala.

Pengobatan yang diajarkan syari’at Islam meliputi dua jenis pengobatan, yaitu pengobatan preventif yang dilakukan sebelum terjangkit penyakit dan pengobatan kuratif yang dilakukan setelah terjangkit penyakit. Kedua jenis pengobatan tersebut didukung dalam syari’at Islam. Di dalam syari’at Islam pun terkandung prinsip-prinsip pengobatan dan penyembuhan yang mampu mewujudkan keselamatan dan keamanan bagi seorang muslim di kehidupan dunia dan akhirat. Bagi mereka yang pernah membaca buku at-Thibb an-Nabawiy karya al-‘Allamah Ibnu al-Qayyim rahimahullah akan menjumpai kandungan-kandungan ilmu yang terkait dengan pengobatan dan penyembuhan yang digali dari ajaran Islam dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Di bidang pengobatan yang bersifat preventif, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اصْطَبَحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةٍ لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ

“Setiap orang yang memakan tujuh butir kurma ‘ajwah di pagi hari, niscaya tidak akan terganggu oleh racun dan sihir di hari itu”. [HR. Al-Bukhari]

Dalam hadits ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu, disampaikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَقُولُ فِى صَبَاحِ كُلِّ يَوْمٍ وَمَسَاءِ كُلِّ لَيْلَةٍ : بِسْمِ اللَّهِ الَّذِى لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَىْءٌ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ـ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ـ فَيَضُرُّهُ شَىْءٌ

”Setiap orang yang mengucapkan di setiap pagi dan setiap sore dzikir, ‘BISMILLAHILLADZI LAA YADHURRU MA’ASMIHI SYAI’UN FIL ARDHI WA LAA FISSAMAA’I WAHUWAS SAMII’UL ‘ALIM’ sebanyak tiga kali, niscaya tidak akan ada yang mampu membahayakannya.” [HR. At-Tirmidzi]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِى لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ

“Setiap orang yang membaca dua ayat terakhir surat al-Baqarah di waktu malam, niscaya akan terbebas.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Artinya ia akan terbebas dari setiap penyakit, keburukan, dan kejelekan.

Dalam hadits Abdullah bin Khubaib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

خَرَجْنَا فِى لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ وَظُلْمَةٍ شَدِيدَةٍ نَطْلُبُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّى لَنَا – قَالَ – فَأَدْرَكْتُهُ فَقَالَ « قُلْ ». فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ « قُلْ ». فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا. قَالَ « قُلْ ». قُلْتُ مَا أَقُولُ قَالَ « قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ حِينَ تُمْسِى وَتُصْبِحُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ تَكْفِيكَ مِنْ كُلِّ شَىْءٍ

”Pada suatu malam disaat hujan lebat lagi gelap gulita kami keluar rumah mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar shalat mengimami kami. Kami pun menjumpai beliau. Beliau berkata, ‘Ucapkanlah!’. Tapi aku tidak mengucapkan sesuatu.  Beliau berkata lagi, ‘Ucapkanlah!’. Tapi aku tidak mengucapkan sesuatu. Kemudian beliau berkata lagi, ‘Ucapkanlah!’ Maka aku bertanya, ‘Apa yang harus saya ucapkan?’ Maka beliau bersabda, ‘Bacalah surat QUL HUWALLOHU AHAD (al-Ikhlas), dan MUAWWIDZATAIN (al-Falaq dan an-Naas) sebanyak tiga kali di kala pagi dan petang, niscaya hal itu akan menjagamu dari segala sesuatu”. [HR. at-Tirmidzi]

Dalam hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ’anhuma, bahwasanya beliau senantiasa membaca do’a berikut di waktu pagi dan petang,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِى دِينِى وَدُنْيَاىَ وَأَهْلِى وَمَالِى ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى، وَآمِنْ رَوْعَاتِى ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِى مِنْ بَيْنِ يَدَىَّ وَمِنْ خَلْفِي وَعَنْ يَمِينِي وَعَنْ شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي

”ALLOHUMMA INNI AS’ALUKAL ‘AFIYATA FID DUNYA WAL AKHIROH,  ALLOHUMMA  AS’ALUKAL ‘AFWA WAL ‘AFIYATA FII DIINIY WA DUNYAAYA WA AHLII WA MAALII. ALLOHUMMASTUR ‘AUROOTI  WA AAMIN ROU’AATI. ALLOHUMMAHFADZNI MIN BAINIY YADAYYA WA MIN KHOLFIY WA ‘AN YAMIINIY WA ‘AN SYIMAALIY  WA MIN FAUQIY WA A‘AUUDZU BI ‘AZHOMATIKA ‘AN UGHTAALA MIN TAHTIY“.

“Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah aku memohon kepada-Mu ketenteraman dan keselamatan pada urusan agama, dunia, keluarga dan hartaku. Yaa Allah tutupi auratku, tenangkanlah aku dari rasa takutku. Yaa Allah jagalah aku dari arah depan dan belakangku, arah kanan dan kiriku, serta dari arah bawahku. Aku belindung dengan kebesaran-Mu agar aku tidak dihancurkan dari arah bawahku” [HR. Abu Daawud dan Ibnu Maajah].

Dalam do’a ini terdapat perlindungan dan penjagaan secara sempurna bagi hamba pada berbagai sisi. Adapun di bidang pengobatan yang bersifat kuratif terdapat sejumlah petunjuk dan bimbingan yang beragam dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga memerlukan penjabaran yang luas. Anda dapat membaca uraian luas akan hal ini dalam buku Zaad al Ma’aad karya Ibnul Qayyim.

Renungan Keempat

Setiap muslim berkewajiban tidak mudah hanyut mengikuti informasi bohong (baca: hoaks), karena dalam kondisi ini sebagian orang justru mempromosikan atau menyebutkan berbagai info yang tidak valid dan fiktif, sehingga timbullah kekhawatiran dan ketakutan yang tak berdasar di tengah-tengah manusia. Setiap muslim sepatutnya tidak mudah mempercayai rumor yang beredar, namun mengatasinya dengan kesempurnaan iman, yakin, dan tawakkal kepada Allah Ta’ala.

Renungan Kelima

Sesungguhnya musibah yang menimpa manusia, baik terjadi pada kesehatan, keluarga, anak, harta, perniagaan, dan selainnya, apabila dihadapi dengan sikap bersabar dan berharap pahala Allah, maka hal itu justru akan mengangkat kedudukannya di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ,  الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ .  أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” . Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”  [QS. Al Baqarah: 155-157].

Allah Ta’ala menguji para hamba-Nya agar Dia mendengarkan keluhan, permintaan, do’a, kesabaran, dan ridha mereka terhadap apa yang ditetapkan Allah. Dia melihat bagaimana sikap para hamba-Nya ketika ditimpa musibah yang menguji iman mereka, Dia pun mengetahui mana dari mereka yang jujur dalam menyikapi musibah dan niat dalam hati mereka, sehingga setiap hamba memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkan. Itulah mengapa setiap orang yang ditimpa dengan penyakit, cacat, harta yang minim, dan musibah yang lain, berkewajiban untuk mengharapkan pahala di sisi Allah ketika diuji dengan berbagai kesempitan tersebut. Dia berkewajiban menghadapinya dengan sabar dan ridha agar mampu memetik keberuntungan dengan memperoleh pahala orang-orang yang bersabar. Dan bagi setiap orang yang diberi keselamatan hendaknya memuji Allah Ta’ala agar memperoleh keberuntungan dengan memperoleh pahala orang-orang yang bersyukur.

Renungan Keenam

Sesungguhnya musibah terbesar bagi hamba adalah musibah agama. Musibah agama adalah musibah terdahsyat yang dialami hamba di dunia dan akhirat. Musibah tersebut merupakan puncak malapetaka yang nyata. Dengan demikian, apabila seorang muslim mengingat hal ini di saat mengalami musibah dunia, niscaya dia akan memuji Allah atas karena agamanya masih selamat. Al-baihaqi meriwayatkan dalam Syu’ab al-Iman dari Syuraih al-Qadhi rahimahullah bahwa beliau pernah berkata,

إني لأصاب بالمصيبة فأحمد الله عليها أربع مرات: أحمده إذ لم تكن أعظم مما هي , وأحمده إذ رزقني الصبر عليها , وأحمده إذ وفقني للاسترجاع لما أرجو فيه من الثواب , وأحمده إذ لم يجعلها في ديني

“Sesungguhnya aku memuji Allah dalam empat hal ketika diriku ditimpa musibah. Pertama, aku memuji-Nya karena musibah ini tidak lebih besar dari apa yang menimpa. Kedua, aku memuji-Nya karena menganugerahkan kesabaran padaku dalam menghadapinya. Ketiga, aku memuji-Nya karena membimbingku untuk mengucapkan istirja’ (ucapan innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun) demi mengharapkan pahala. Keempat, aku memuji-Nya karena tidak menjadikan musibah itu terjadi pada agamaku.”

Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar memelihara kita semua dengan penjagaan-Nya dan menganugerahkan keselamatan agama, dunia, keluarga, dan harta kepada kita. Sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar, Maha Dekat, dan Maha Mengabulkan.



Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel: Muslim.or.id

Selasa, 04 Februari 2020

Bersegera Menghapus Catatan Dosa dengan Amal Kebaikan

Bersegera Menghapus Catatan Dosa dengan Amal Kebaikan

View Article

Bismillah… Rasulullah shallallahualaihiwasallam bersabda,

اتق الله حيثما كنت ، وأتبع السيئة الحسنة تمحها، وخالق الناس بخلق حسن

“Bertakwalah kepada Allah di manapun anda berada. Iringilah perbuatan dosa dengan amal kebaikan, karena kebaikan itu dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik” (HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987, ia berkata: ‘hadits ini hasan shahih).

Pelajaran dari hadis ini, bahwa seorang hamba apabila terjatuh dalam dosa, hendaklah bersegera menghapusnya dari catatan amal, supaya ia terhindarkan dari segala dampak buruk yang akan timbul dari dosa yang ia lakukan. Oleh karenanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وأتبع السيئة الحسنة تمحها…

“iringilah perbuatan dosa dengan amal kebaikan, karena dapat menghapusnya…”

Kalimat yang menunjukkan kesegeraan, artinya segera tutupi dosa-dosa dengan taubat dan amal saleh. Jangan menunda-menunda. Karena dosa yang mengendap lama dalam diri, akan sangat berbahaya. Dosa yang tidak segera ditaubati dikhawatirkan akan melahirkan dosa lain. Semakin banyak dosa, hati akan semakin gelap, tertutup noda-noda dosa.

Allah berfirman,

إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ * كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Wahai Muhammad, ingatlah ketika Al Quran dibacakan kepada orang kafir. Orang kafir itu berkata, “Al Quran hanyalah dongeng orang-orang dahulu.” Sekali-kali tidak! Bahkan hati orang-orang kafir itu telah tertutup oleh dosa yang mereka kerjakan (rôn)” (QS. Al Muthoffifin: 14).

Hasan Al Bashri menerangkan makna “rôn” pada ayat di atas,

هو الذنب على الذنب حتى يموت القلب

“Itu adalah dosa yang ditumpuk dosa sehingga mematikan hati” (Lihat: Tafsir al Baghowi untuk tafsir ayat ini).

Bahaya Menumpuk Dosa Tanpa Bersegera Beramal Baik

Bila dosa terus diulang, ditambah dosa-dosa lain, tanpa ada upaya bertaubat dan mengimbanginya dengan amal saleh, maka noda-noda hitam yang mempergelap hatinya akan semakin banyak. Bahkan hati dapat tertutup dari cahaya Allah. Hatinya menjadi gelap dan hitam. Ia menjadi tak peduli dengan kualitas iman dan kesehatan hatinya. Nasihat-nasihat akan sulit masuk ke relung hati. Sampai akhirnya meninggal dengan membawa dosa yang belum ia taubati. Tentu ini akan membawa petaka di akhirat nanti.

Nabi kita shallallahualaihiwasallam mengingatkan.

إن العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت في قلبه نكتة سوداء فإذا هو نزع واستغفر وتاب سقل قلبه وإن عاد زيد فيها حتى تعلو قلبه وهو الران الذي ذكر الله { كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون }

“Sesungguhnya seorang hamba apabila ia berbuat satu dosa, maka dititikkan dalam hatinya satu titik hitam. Apabila dia berusaha menghilangkannya dan beristighfar serta bertaubat maka terhapuslah titik tersebut. Jika kembali berbuat dosa maka akan bertambah sehingga memenuhi ruang hati. Itulah yang disebut dengan ”rôn”(penutup hati) yang disebutkan Alloh… sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya dosa yang selalu mereka perbuat itu menutupi hati mereka” (HR. at Tirmidzi).

Ada sedikit saja noda yang menempel di pakaian, kita merasa risih. Akankah kita tidak risih dengan dosa yang menodai hati? Orang yang bijak merasa khawatir dan segera membuang jauh-jauh noda-noda hati itu.

Tiga Hal yang Dapat Menghapus Dosa
1. Bertaubat
2. Beristighfar tanpa taubat
3. Amal saleh

(Lihat: Al Wasiyyah As Sughro, hal 31-32, tahqiq : Sobri bin Salamah Syāhin).

Amal Saleh yang Dapat Menghapus Dosa

Penjelasan terkait penghapus dosa pertama dan kedua, yakni taubat dan istighfar tanpa taubat, bisa pembaca pelajari di sini. Adapun amal saleh, syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menerangkan bahwa amalan saleh yang dapat menghapus dosa ada dua jenis:

Pertama, amal-amal saleh yang dapat menghapus dosa-dosa tertentu saja.

Contohnya seperti kafarat untuk orang yang melakukan hubungan badan di siang hari ramadhan (membebaskan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh kaum miskin). Seperti juga pembayaran diyat untuk jama’ah haji yang melanggar larangan larangan ihram).

Kedua, amal-amal saleh yang dapat menghapus dosa secara umum, tidak hanya dosa tertentu saja. Amal saleh jenis ini ada dua macam:

Jenis Pertama, amal saleh yang dijelaskan secara jelas (nash) oleh dalil bahwa ia dapat menghapus dosa. Bisa berbentuk perbuatan atau ucapan.


Contohnya yang dijelaskan pada hadis-hadis berikut:

* من صام رمضان إيماناً واحتساباً غُفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa – dosanya yang telah lalu“ (HR. Bukhari dan Muslim).

* من قام رمضان إيمانا و احتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang berdiri shalat pada bulan Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap pahala maka akan diampuni dosa – dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim).

* من أكل طعاما فقال الحمد لله الذي أطعمني هذا ورزقنيه من غير حول مني ولا قوة غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barang siapa yang setelah makan membaca “Alhamdulillahil ladzi ad’amani hadza wa razaqanihi min ghairi haulin minni wala quwwah” maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Tirmidzi. Al-Albani berkata: hadist hasan).

* إذا أمن الإمام فأمنوا فإنه من وافق تأمينه تأمين الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه

“Jika seorang imam mengucapkan ‘amin’ maka ucapkanlah pula ‘amin’ karena siapa yang uacapan aminnya bersesuaian dengan ucapan amin para malaikat akan terampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim).

* مَنْ تَوَضَّأَ هَكَذَا ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ ، لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ ، غُفِرَ لَهُ مَا خَلَا مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berwudhu seperti ini (sprti wudhu yang diajarkan Rasulullah shallallahualaihiwasallam, pent), kemudian ia keluar menuju masjid dan tidak ada yang ia menjadikan ia keluar kecuali untuk sholat, niscaya Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Muslim).

Hadis ini sebenarnya sudah sangat cukup sebagai motivasi kita untuk sholat berjamaah di masjid. Terlepas dari perselisihan para ulama terkait hukum sholat berjamaah. Karena sebagian saudara kita berleha-leha dalam hal sholat berjamaah, karena berpandangan tidak wajib. Namun bila melihat keutamaan yang dijelaskan pada sabda Rasulullah di atas, sudah sangat cukup sebagai alasan untuk tidak menyiakan sholat berjamaah.

Jenis Kedua, amal saleh yang tidak dijelaskan secara jelas (nash) oleh dalil, bahwa ia penghapus dosa.

Ini mencakup seluruh amal kebajikan yang tidak diterangkan secara khusus bahwa ia dapat menghapus dosa. Namun sejatinya seluruh amal saleh, meskipun tidak dijelaskan secara khusus, ia dapat menjadi penghapus dosa. Dalilnya adalah keumuman firman Allah ‘azza wa jalla,

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah)” (QS. Hud: 114).

Dan juga hadis,

وأتبع السيئة الحسنة تمحها…

“Iringilah perbuatan dosa dengan amal kebaikan, karena dapat menghapusnya…”

Bila ada yang bertanya, “lalu apa manfaatnya penjelasan secara khusus terkait amalan-amalan ini dapat menghapus dosa, bila memang seluruh amal saleh dapat menghapus dosa?”

Jawabannya : Pertama untuk mengingatkan bahwa kedudukan amal-amal tersebut sangat mulia. Kemudian untuk menjelaskan bahwa amal-amal saleh tersebut dampaknya dalam menghapus dosa lebih kuat daripada amalan saleh lainnya.

Wallahua’lam bis shawab.



(Tulisan ini adalah rangkuman faidah kajian Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili –hafizhahullah– di Masjid Nabawi, saat mengkaji buku Al-Wasiyyah As-Sughra, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-rahimahullah-).

Ditulis di Jogja (PP Hamalatulqur’an), 19 Sya’ban 1438 H / 16 Mei 2017
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: Muslim.or.id

Selasa, 28 Januari 2020

Jangan Tertipu Dengan Penampilan Lahiriyah

Jangan Tertipu Dengan Penampilan Lahiriyah

View Article

Alangkah indahnya ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya Al-Ubudiyyah,

فالعاقل ينظر إلى الحقائق لا إلى الظواهر

“(Ciri khas) orang yang berakal adalah melihat hakikat (sesuatu), tidak terjebak dengan zahirnya”.

Dalam berbagai sisi kehidupan banyak orang yang tertipu dengan penampilan dan fenomena zahir. Mereka tidak melihat rahasia hakikat di balik penampilan fenomena zahir tersebut. Contohnya:

1. Kepala Keluarga. Seorang suami bisa saja tertipu dengan statusnya sebagai pemimpin keluarga, padahal hakikatnya istrinyalah yang memimpin rumah tangganya karena dia selalu tunduk dengan kemauan istrinya, benar atau salah. Berarti hakikatnya, istrilah yang menjadi pemimpin keluarga itu.

2. Kepala Negara. Seorang presiden bisa pula tertipu dengan statusnya sebagai pemimpin negara, padahal dalam menjalankan roda pemerintahan dan dalam menetapkan peraturan dan keputusan mengikuti apa saja kemauan mayoritas rakyatnya atau partai politiknya. Hakikatnya, rakyatlah yang menjadi kepala negara.

3. Ikhwan & Akhwat Salafy. Ikhwan ataupun akhwat yang sudah lama mengaji dan berilmu tinggi bisa saja terjebak dengan penampilan zahir, seperti cara berpakaian, berjenggot, dan bercadar. Semuanya –alhamdulillah-sudah sesuai dengan sunnah secara zahir, namun ketika ia melakukan itu semua ternyata banyak didasari riya’ atau sungkan dan tidak ikhlas hatinya, hanya mencari status ikhwan/akhwat, dan bahkan ia banyak melakukan dosa-dosa besar, baik dengan lisannya maupun perbuatannya (misal ghibah dan durhaka kepada orangtuanya), lebih-lebih lagi dosa besar hati (sombong dan ujub), maka hakikatnya ia seorang yang fasik, bukanlah shalih.

3. Warga Komunitas Salafy. Seorang yang tinggal di lingkungan salafy –yang banyak ustadz di sekitarnya- entah status ia di situ sebagai tetangga ustadz atau bahkan sebagai anak atau istri ustadz ketika terkecoh dengan kedekatan tempat tinggalnya dengan para ustadz dan dengan lingkungan salafy, namun -misalnya- kenyataan yang terjadi ia jarang mengaji/menambah ilmu, jarang mendapatkan nasihat dan bimbingan ustadz ketika terjatuh dalam kesalahan, maka hakikatnya orang lain yang tinggalnya jauh dari lingkungan salafy dan jauh dari ustadz bisa jadi lebih baik darinya!

Padahal orang lain rajin menuntut ilmu, mendatangi majelis ustadz, dan rajin pula meminta nasihat/bertanya kepada para ustadz via berbagai alat komunikasi dan dalam berbagai kesempatan. Tidakkah kita ingat kedekatan istri Nabi Nuh ‘alaihis salam dan istri Nabi Luth ‘alaihis salam, tidaklah menjadikan kedua istri tersebut masuk surga, bahkan keduanya kekal selamanya di neraka.

4. Lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan (sekolah, pondok, universitas) pun juga demikian, berapa banyak sekolah yang berfasilitas mewah semewah hotel dengan ribuan murid, namun sayangnya semakin megah fisiknya, semakin banyak yang lemah iman, ilmu, dan amalnya. Pasalnya pihak pengelola sekolah tersebut lebih perhatian kepada pengembangan fisik dan profit (bisnis pendidikan) dibandingkan dengan mutu pendidikan. Hakikatnya sekolah dengan gedung dan fasilitas sederhana yang perhatian kepada mutu pendidikan bisa jadi lebih bermutu pendidikannya daripada sekolah mewah tersebut. (baca artikel “Madrasah Salafush Shalih”)

Hakekat Suatu Amal

Dalam Islam, kita dituntut untuk memperhatikan hakikat, bukan semata-mata memperhatikan sisi zahirnya semata, walaupun perkara zahir itu penting diperhatikan agar sesuai dengan sunnah, namun hakikat dan perkara batin/hati lebih penting lagi diperhatikan agar sesuai dengan sunnah pula. Itulah yang dinamakan dengan ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti sunnah), dua syarat diterimanya ibadah seorang hamba.

Syarat Diterimanya Ibadah

Ikhlas dan mutaba`ah (mengikuti sunnah) adalah syarat diterimanya sebuah ibadah sekaligus inti ujian hidup manusia, Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Al-Mulk: 2).

Al Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan makna أَحْسَنُ عَمَلًا :

هو أخلصه وأصوبه

“yaitu yang paling ikhlas dan paling benar (sesuai tuntunan agama)”

Karena demikian tingginya kedudukan ikhlas dan mutaba’ah dalam agama Islam ini, maka pantas jika kedua hal ini sangat berpengaruh terhadap amal yang kita lakukan.

Pengaruh Ikhlas

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرفُ؛ وَمَا كُتِبَ إِلا عُشُرُ صلاتِهِ، تُسُعُها، ثُمنُها، سُبُعُها، سُدُسُها، خُمُسُها، رُبُعُها، ثلُثُها، نِصْفها

“Sesungguhnya seseorang selesai dari shalatnya dan tidaklah dicatat baginya dari pahala sholatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya” (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan-amalan berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan perbedaan tingkatan keimanan dan keikhlasan yang terdapat di hati. Dan sungguh ada dua orang yang berada di satu shaf shalat akan tetapi perbedaan nilai shalat mereka berdua sejauh antara langit dan bumi”.

Pengaruh Mutaba’ah

Disebutkan dalam hadits muttafaqun ‘alaih (riwayat Bukhari dan Muslim) bahwa ada salah seorang yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat ‘Ied kemudian rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ), maksudnya, “Kambingmu adalah kambing yang hanya bisa dimanfaatkan dagingnya (untuk dirimu sendiri dan tidak terhitung sebagai kambing kurban)”, mengapa demikian? Karena waktu ibadah menyembelih kurban itu sudah ada ketentuannya dalam sunnah rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak akan diterima ibadah kurban seseorang jika dilakukan di luar waktunya, walaupun niatnya baik.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits tersebut,

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ

“Barangsiapa yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat ‘Ied, maka dia menyembelih untuk (diambil manfaatnya) oleh dirinya sendiri dan barangsiapa yang menyembelih hewan kurban sesudah shalat ‘Ied, maka telah sempurna ibadahnya dan sesuai dengan sunnatul muslimin (tata cara kaum muslimin)”.

Hakikat Dalam Berbagai Sisi Kehidupan

Mari kita merenungkan sejenak beberapa sisi kehidupan berikut ini. Betapa kita tertuntut untuk memperhatikan hakikat suatu perkara dalam segala sisi kehidupan kita dan tidak tertipu dengan fenomena zahir saja.

Hakikat Kekayaan

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Hakikat kekayaan itu bukanlah pada banyaknya harta,namun hakekatnya adalah kekayaan jiwa (qana’ah & ridha)” (HR. Al-Bukhari). Dalam Hadits di atas dijelaskan bahwa hakikat kekayaan bukanlah terletak pada sesuatu yang nampak di tangan berupa banyaknya harta karena bisa jadi seseorang berharta banyak namun masih terus merasa kurang dan berusaha mencari tambahan harta seolah-olah ia miskin. Oleh karena itu hakekat kekayaan adalah kaya hati, qana’ah, dan ridha dengan pembagian rezeki yang diterimanya dari Allah setelah berusaha mencari nafkah dengan usaha yang sewajarnya.

Hakikat kebangkrutan

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا : الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لا دِرْهَمَ لَهُ وَلا مَتَاعَ ، فَقَالَ : إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu? Maka mereka ( para Sahabat ) menjawab, ‘orang yang bangkrut di antara kita adalah orang yang tidak mempunyai uang dan harta.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan, ‘Orang yang bangkrut dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) shalat, puasa dan zakatnya, namun ia juga datang (membawa dosa berupa) Ia pernah mencela fulan ini, menuduh tanpa bukti terhadap fulan itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka (tebusannya) diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dizaliminya sementara belum semua kezalimannya tertebus, diambillah dosa yang dimiliki oleh orang yang dizaliminya lalu ditimpakan kepadanya kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka’” (HR. Muslim).

Hakikat tingginya nilai infak

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

“Janganlah kalian mencela para sahabatku, kalau seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud maka tidak akan menyamai infaq mereka dua genggam tangan atau segenggam tangan (makanan kurma atau gandum dll-pent)” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Jika kita memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu kita infakkan, maka nilainya tidak akan menyamai infaq sahabat dua genggam tangan atau segenggam tangan kurma misalnya. Hal itu karena keutamaan para Sahabat disertai dengan keikhlasan mereka yang lebih dan niat yang benar.

Padahal zahirnya emas sebesar gunung Uhud jauh lebih banyak dibandingkan dua genggam tangan atau segenggam tangan kurma, namun ketika hakekat kualitas amal infak kurma jauh melebihi infak emas tersebut, maka yang jadi patokan penilaian adalah hakikatnya.

Hakikat kemenangan peperangan

Fenomena perang Hunain, sebagian kaum muslimin merasa kagum terhadap banyaknya jumlah pasukan, namun ternyata tidak bermanfaat sedikit pun jumlah mereka tersebut, hingga kaum muslimin mengalami kekalahan.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئاً وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ [التوبة : 25]

“Sesungguhnya Allah telah menolong kalian (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kalian menjadi kagum karena banyaknya jumlah (kalian), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun dan bumi yang luas itu telah terasa sempit oleh kalian kemudian kalian lari ke belakang dengan bercerai-berai.”

Pelajaran dari Perang Hunain

Bahwa hakikat kemenangan adalah bukan terletak pada jumlah pasukan yang banyak, namun ada pada pertolongan Allah dan seseorang terancam tidak mendapatkan pertolongan Allah jika ada kotoran hati, di antaranya ‘ujub/kagum.

Hakikat dalam masalah berkeluarga

Ajaran Islam adalah pria pemimpin bagi wanita. Allah Ta’ala berfirman

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”. ( QS. An Nisa : 34 )

namun bisa jadi kenyataannya terbalik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Maka seorang laki-laki yang terpikat hatinya dengan istrinya-kendati istri tersebut halal baginya-, namun hatinya ternyata menjadi tawanan istrinya, sang istri pun menguasai dan mengaturnya sesuai dengan kemauannya, padahal zahirnya laki-laki itu pemimpinnya karena memang ia statusnya sebagai suami atau tuannya, namun hakikatnya ia tawanan dan budak istrinya” (Al-Ubudiyyah, syaikhul Islam rahimahullah).

Hakikat dalam masalah Ibadah

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Bisa jadi orang yang shalat malam, namun hanya mendapatkan begadang saja (tidak dapat pahala). (Ingatlah) berapa banyak orang yang shalat malam namun tidak dirahmati (oleh Allah), sedangkan yang tidur justru dirahmati. Rahasianya adalah orang yang ke-2 memang zahirnya (nampaknya) tidur, namun hatinya ingat Allah (bertakwa), adapun orang yang pertama memang zahirnya shalat malam, namun sayangnya hatinya menyimpan maksiat”

Beliau juga berkata, “(Ingatlah) berapa banyak orang yang lisannya istighfar, namun dibenci (oleh Allah), sedangkan orang yang lisannya diam malah justru dirahmati. Rahasianya adalah orang yang lisannya istighfar hatinya menyimpan maksiat, adapun orang yang lisannya diam hatinya ingat Allah (bertakwa)”. (Lathoiful Ma’arif, Ibnu Rajab rahimahullah)

Penutup

Terakhir, marilah kita merenungi bahwa siapa pun di antara kita, apapun kedudukan dan jabatan kita, apapun profesi kita tua atau mudakah kita, mari masing-masing kita intropeksi diri.

Sudahkah dalam setiap aktivitas dan program-program kita dikembalikan kepada prinsip ikhlas dan mutaba’ah di atas manhajus salaf (cara beragama sahabat nabi), meneropong hakikat dan tidak tertipu dan terjebak dengan target-target serta prestasi-prestasi zahir semata?

نسأل الله –عز وجل– أن يوفقنا وإياكم لما يحبه و يرضاه و أن يجعلنا وإياكم هداة مهتدين إنه ولي ذلك والقادر عليه


Penulis: Ustadz Sa’id Abu ‘Ukkasyah
Artikel Muslim.Or.Id

Selasa, 14 Januari 2020

Ini 4 Tingkatan Sikap Ketika Menghadapi Cobaan

Ini 4 Tingkatan Sikap Ketika Menghadapi Cobaan

View Article

Pada tulisan sebelumnya, penulis membahas tentang arti sabar dan macam-macam kesabaran. Ada kesabaran dalam melakukan taat, ada kesabaran dalam menjauhi maksiat, dan ada kesabaran dalam menerima takdir Allah. Kali ini penulis akan bawakan tingkatan sikap manusia ketika menghadapi cobaan atau dalam menerima takdir Allah.

1. Marah

Tingkatan yang pertama adalah marah dengan takdir yang Allah berikan. Boleh jadi ia marah dalam hatinya dengan bergumam, boleh jadi ia ucapkan dengan lisannya. Orang yang marah dengan takdir Allah, maka ia dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kesyirikan dengan sebab ia mencela takdir. Dan marah kepada takdir pada hakikatnya marah kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

“Dan di antara manusia, ada yang menyembah Allah di pinggiran. Jika ia diberi nikmat berupa kebaikan, maka tenanglah hatinya. Namun jika ujian menimpanya, maka berubahlah rona wajahnya, jadilah ia merugi di dunia dan di akhirat.” (QS. Al-Hajj: 11).

Jika ia marah dengan lisannya, akan muncul kata-kata berupa umpatan, celaan, bahkan perkataan celaka dan yang semisal dengannya. Jika ia marah dengan perbuatannya, ia akan melakukan perbuatan seperti menampar pipi, merobek kerah baju, menarik narik rambut dan perbuatan yang semisal.

2. Sabar

Tingkatan kedua adalah sabar, sebagaimana ungkapan seorang penyair arab,

الصبر مثل اسمه مر مذاقته لكن عواقبه أحلى من العسل

Sabar itu memang seperti namanya (sebuah nama tumbuhan), yang rasanya pahit

Namun hasil dari kesabaran akan lebih manis dari madu. Ketika seseorang merasakan beratnya ujian dan tidak suka dengan ujian yang menimpanya, namun ia lebih memilih bersabar sehingga ia merasa ada atau tidaknya ujian sama saja. Meskipun ia tidak menyukainya, namun keimanannya menghalanginya untuk marah.

Bersabar ketika menghadapi cobaan hukumnya wajib, dan seseorang yang tidak bersabar ketika itu akan terjerumus dalam dosa. Dan sabar adalah tingkatan yang paling minimal yang dimiliki oleh seorang Muslim ketika menghadapi cobaan. Adapun tingkatan yang lebih tinggi dari sabar, hukumnya sunnah dan lebih afdhal (utama).

3. Ridha

Tingkatan ketiga lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya, yaitu ridha. Ia jadikan ujian dan nikmat yang menimpanya sama saja, yaitu sama-sama bagian dari takdir dan ketetapan Allah, meskipun musibah tersebut membuat hatinya sedih, karena ia adalah seorang yang beriman pada qadha dan qadar.

Dimana saja Allah tetapkan qadha dan qadarnya, seperti tertimpa kesulitan atau mendapatkan kemudahan, tatkala mendapat nikmat atau sebaliknya yaitu tertimpa musibah, semua itu sama saja baginya. Bukan karena matinya hati, namun karena kesempurnaan ridha dengan takdir Allah, sebagai Rabb yang mengatur urusannya. Jika ia melihat dalam kacamata takdir Allah, baginya sama saja antara nikmat dan musibah. Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara sabar dan ridha.

4. Syukur

Ini adalah tingkatan tertinggi dan yang paling utama dalam menghadapi cobaan. Karena ia bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi hamba Allah yang penuh rasa syukur ketika ia melihat masih banyak orang lain yang lebih berat musibahnya dibandingkan dirinya. Musibah dalam hal dunia lebih ringan dibandingkan musibah dalam hal agama, karena adzab di dunia lebih ringan dibandingkan adzab di akhirat.

Pada hakikatnya, musibah adalah penghapus dosa dan akan menjadi tambahan kebaikan di sisi Allah tatkala ia menjadi hamba yang bersyukur. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah suatu kelelahan, sakit, kesedihan, kegundahan, bahkan tusukan duri sekali pun, kecuali akan menjadi penghapus dosa baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Demikianlah tingkatan skiap menghadapi cobaan, kita berharap bisa digolongkan minimal sebagai orang bersabar, tatkala tertimpa musibah, dan berusaha semaksimal mungkin menjadi orang yang ridha dan bersyukur tatkala tertimpa musibah. Semoga Allah hapuskan dosa kita semua dengan sebab musibah yang menimpa diri kita. Wallahul Muwaffiq.

Referensi: Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, karya Syaikh Ibnu Utsaimin.



Penulis: Wiwit Hardi P.
Artikel Muslimah.Or.Id

Minggu, 22 Desember 2019

Hobi Menghitung Hitung Uang Yang Tercela

Hobi Menghitung Hitung Uang Yang Tercela

View Article

Salah satu kebiasaan yang selayaknya dihindari dengan rekening anda, terlalu sering ngecek saldo rekening tabungan. Terlebih setalah merebaknya fasilitas internet banking dan mobile banking. Padahal dia sendiri tahu, dia belum melakukan transaksi apapun dengan rekeningnya. Dia tidak mengambil uangnya, tidak pula mendapatkan kiriman dari luar.

Tapi itulah manusia, umumnya mereka merasa tenang, merasa tentram, ketika melihat hartanya. Mendapatkan kebahagiaan, ketika menghitung uangnya. Merasa senang, ketika melihat saldo rekeningnya, terebih ketika datang tanggal muda.

Kita tentu telah menghafal surat al-Humazah. Salah satu surat yang mengingatkan kita agar tidak menjadi orang yang rakus harta. Namun, ada satu keterangan yang penting untuk kita garis bawahi, terkait hobi melihat saldo rekening.

Diantara sifat tercela yang Allah sebutkan dalam surat al-Humazah,

الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ

Yaitu orang yang mengumpulkan harta dan suka menghitung-hitungnya. (QS. Al-Humazah: 2).

Makna kata [وَعَدَّدَهُ] ’menghitung-hitungnya’ ada dua:

Pertama, makna’addadah [عَدَّدَهُ] adalah ta’did [التعديد], artinya dia menghitung jumlah uang dan harta yang dia miliki di luar kebutuhan.

Kedua, kata’addadah [عَدَّدَهُ] bermakna ja’alahu uddatan [جعله عُدة], artinya dia meyakini bahwa hartanya adalah satu-satunya modal untuk bisa melanjutkan hidupnya. (Zadul Masir, Ibnul Jauzi, 4/489).

Kita memiliki kaidah, bahwa jika ada ayat yang memiliki beberapa penjelasan tafsir dari para ulama, dan tidak ada yang bertentangan, maka semua tafsir itu dianggap benar. (Syarh Muqadimah Tafsir, Ibnu Utsaimin, hlm. 20).

Jika kita perhatikan, dua keterangan tafsir di atas, tidak saling bertentangan. Sehingga tafsir ayat ini, mencakup keduanya.

Allah berfirman yang artinya, “Orang yang mengumpulkan harta dan berulang kali menghitungnya” [QS al Humazah:2].

Ini adalah diantara sifat yang tercela rakus mengumpulkan harta lagi pelit, tidak suka berbagi. Orang tersebut adalah orang yang pelit tidak mau berbagi dan mengumpulkan harta lantas menghitung hitungnya.

Tentang makna “wa’addadahu” ada beberapa penjelasan ulama tafsir tentang maknanya.

Pertama, ada yang menjelaskan bahwa yang dimaksudkan adalah menghitung. Artinya, karena demikian cintanya dengan uang sering kali dia datangi tempat penyimpanan uangnya lantas dia hitung hitung. Pagi sudah dihitung hitung. Sorenya kembali dihitung hitung padahal dia sadar dan mengerti bahwa dia tidak mengurangi atau pun menambahi uang simpanan tersebut namun karenanya karena cintanya dengan harta maka dia bolak balik ke tempat penyimpanan uangnya untuk menatapi dan menghitung hitung uang tersebut.

Oleh karena itu, dalam ayat di atas Allah menggunakan kata kerja yang mengandung makna ‘sering dan berulang kali’. Artinya orang tersebut sering dan berulang kali menghitung uang simpanannya. Karena demikian cintanya dengan uang dia hitung uang tersebut berkali kali karena khawatir jumlah berkurang padahal jelas jelas dia tidak mengurangi uang tersebut sedikit pun atau dia berulang kali menghitung dalam rangka memantapkan hatinya tentang jumlah uang miliknya. Walhasil orang tersebut terus menerus menghitung uangnya.

Kedua, yang dimaksud dengan “wa’addadahu” adalah menabungkan hartanya untuk persiapan seandainya ada masalah dan musibah di kemudian hari. Penjelasan ini meski ada benarnya dari tinjauan bahasa arab namun kurang tepat secara makna karena menabung untuk antisipasi musibah di kemudian hari tidaklah tercela asalkan kewajiban harta baik zakat atau selainnya telah ditunaikan dengan baik. Yang tercela adalah manakala yang ada di pikiran seorang itu hanya harta dan harta sehingga dia bolak balik melihat dan menghitungnya apakah bertambah ataukah berkurang. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat adalah celaan bagi orang yang menabung untuk masa depan adalah pendapat yang lemah.

Sehingga pendapat yang tepat adalah pendapat pertama yang mengatakan bahwa dalam ayat di atas Allah mencela orang yang sering dan bolak balik menghitung uangnya sebagai ekspresi cinta yang luar biasa dengan harta [sumber bacaan: Tafsir Juz Amma karya Ibnu Utsaimin hal 319-320].

Tafsir Ibnu Utsaimin

Dalam tafsir Juz Amma, Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,

وقيل: معنى التعديد يعني الإحصاء يعني لشغفه بالمال كل مرة يذهب إلى الصندوق ويعد، يعد الدراهم في الصندوق في الصباح، وفي آخر النهار يعدها، وهو يعرف أنه لم يأخذ منه شيئاً ولم يضف إليه شيئاً لكن لشدة شغفه بالمال يتردد عليه ويعدده، ولهذا جاءت بصيغة المبالغة {عدده} يعني أكثر تعداده لشدة شغفه ومحبته له يخشى أن يكون نقص، أو يريد أن يطمئن زيادة على ما سبق فهو دائماً يعدد المال

Ada sebagian ulama yang menjelaskan, makna ’addadah’ adalah suka menghitung-hitung, karena saking cintanya dia dengan hartanya. Setiap saat dia buka lemari, lalu menghitung uangnya. Dia hitung uangnya di pagi hari, sore juga dia hitung lagi. Padahal dia tahu pasti, dia sama sekali tidak mengambil uang itu sedikitpun. Juga tidak menambahkan uang ke dalam lemari. Namun karena saking cintanya dengan harta, dia bolak-balik menghitungnya. Karena itulah, ayat ini diungkapkan dengan pola kalimat hiperbola ’addadah artinya terlalu sering menghitung, karena saking cintanya dengan harta. Dia khawatir jangan-jangan berkurang. Atau dia ingin mencari ketenangan batin ketika melihat uangnya bertambah. Sehingga dia terus-menerus menghitungnya. (Tafsir Juz Amma, hlm. 315)

Sebagai seorang mukmin, tentu kita tidak ingin memiliki sifat tercela seperti yang disebutkan dalam surat al-Humazah di atas. Kendalikan jari-jari anda, jangan terlalu sering mengintip saldo rekening tabungan.

Allahu a’lam.



Artikel Pengusahamuslim / KonsultasiSyariah

Selasa, 10 Desember 2019

Mengenggam Dunia, Ketika Meninggal Hanya Membawa Kafan

Mengenggam Dunia, Ketika Meninggal Hanya Membawa Kafan

View Article

Saudaraku, kita perlu sadari dan selalu ingat bahwa dunia ini hanya sementara saja. Hendaknya kita sadar bahwa dunia yang kita cari dengan susah payah ini tidak akan bisa kita bawa menuju kampung abadi kita yaitu kampung akhirat.

Ibnu Sammak Muhammad bin Shubaih rahimahullah berkata,

هب الدنيا في يديك ، ومثلها ضم إليك ، وهب المشرق والمغرب يجيء إليك ، فإذا جاءك الموت ، فماذا في يديك

“Anggaplah dunia ada di genggaman tanganmu dan ditambahkan yang semisalnya. Anggaplah (perbendaharaan) timur dan barat datang kepadamu, akan tetapi jika kematian datang, apa gunanya yang ada di genggamanmu?” (Siyarul A’lam An-Nubala 8/330)

Banyak sekali ayat dalam Al-Quran yang mengingatkan kita bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara saja. Janganlah kita lalai dan tertipu seolah-olah akan hidup di dunia selamanya dengan mengumpulkan dan menumpuk harta yang sangat banyak sehingga melalaikan kehidupan akhirat kita.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ

“Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (Luqmaan: 33)

Allah juga berfirman,

ﻭَﻣَﺎ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺘَﺎﻉُ ﺍﻟْﻐُﺮُﻭﺭِ

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)

Allah juga berfirman,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al Hadid: 20)

Jika direnungi, ternyata harta kita yang sesungguhnya hanya tiga saja. Selain itu, bukan lah harta kita, walaupun hakikatnya itu adalah milik kita di dunia, karena MAYORITAS harta sejatinya hanya kita tumpuk saja dan bisa jadi BUKAN kita yang menikmati, hanya sekedar dimiliki saja atau KOLEKSI saja.

Tiga harta sejati yang kita nikmati, itupun menikmati sementara saja yaitu

1. Makanan yang kita makan

Makanan yang di kulkas belum tentu kita yang menikmati semua. Makanan yang di gudang belum tentu kita yang menikmati semua. Uang yang kita simpan untuk beli makanan belum tentu kita yang menikmati. Ketika menikmati makanan pun ini hanya sesaat dari keseharian kita, hanya melewati lidah dan kerongkongan sebentar saja

2. Pakaian yang kita pakai

Termasuk sarana yang kita pakai seperti sepatu, kendaraan serta rumah kita. Ini yang kita nikmati. Akan tetapi inipun sementara saja karena pakaian bisa usang sedangkan rumah akan diwariskan

3. Sedekah

Ini adalah harta kita yang sebenarnya, sangat berguna di akkhirat kelak. Inipun berlalu sebentar dari genggaman kita di dunia

Selebihnya harta yang kita tumpul hakikatnya bukan harta kita, kita tidak menikmatinya atau hanya menikmati sesaat saja. Misalnya menumpuk harta:
- Rumah ada dua atau tiga, yang kita nikmati utamanya hanya satu rumah saja
- Uang tabungan di bank beratus-ratus juta atau miliyaran, yang kita nikmati hanya sedikit saja selebihnya kita hanya kita simpan
- Punya kebun yang luas, punya toko yang besar, hanya kita nikmati sesaat saja

Inilah yang dimaksud hadits, harta sejati hanya tiga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﺑْﻦُ ﺁﺩَﻡَ ﻣَﺎﻟِﻰ ﻣَﺎﻟِﻰ – ﻗَﺎﻝَ – ﻭَﻫَﻞْ ﻟَﻚَ ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﺁﺩَﻡَ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻟِﻚَ ﺇِﻻَّ ﻣَﺎ ﺃَﻛَﻠْﺖَ ﻓَﺄَﻓْﻨَﻴْﺖَ ﺃَﻭْ ﻟَﺒِﺴْﺖَ ﻓَﺄَﺑْﻠَﻴْﺖَ ﺃَﻭْ ﺗَﺼَﺪَّﻗْﺖَ ﻓَﺄَﻣْﻀَﻴْﺖَ

“Manusia berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Wahai manusia, apakah benar engkau memiliki harta? Bukankah yang engkau makan akan lenyap begitu saja? Bukankah pakaian yang engkau kenakan juga akan usang? Bukankah yang engkau sedekahkan akan berlalu begitu saja? ” (HR. Muslim no. 2958)

Riwayat yang lain,

ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻣَﺎﻟِﻰ ﻣَﺎﻟِﻰ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻟِﻪِ ﺛَﻼَﺙٌ ﻣَﺎ ﺃَﻛَﻞَ ﻓَﺄَﻓْﻨَﻰ ﺃَﻭْ ﻟَﺒِﺲَ ﻓَﺄَﺑْﻠَﻰ ﺃَﻭْ ﺃَﻋْﻄَﻰ ﻓَﺎﻗْﺘَﻨَﻰ ﻭَﻣَﺎ ﺳِﻮَﻯ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻬُﻮَ ﺫَﺍﻫِﺐٌ ﻭَﺗَﺎﺭِﻛُﻪُ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ

“Hamba berkata, “Harta-hartaku.” Bukankah hartanya itu hanyalah tiga: yang ia makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, yang ia beri yang sebenarnya harta yang ia kumpulkan. Harta selain itu akan sirna dan diberi pada orang-orang yang ia tinggalkan. ” (HR. Muslim no. 2959)

Dunia memang kita butuhkan dan tidak terlalrang kita mencari harta dan dunia akan tetapi harus kita tujukan untuk orientasi akhirat.

Demikian semoga bermanfaat



Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id